TEMPO.CO, Jakarta - Puluhan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK itu tak menyana bakal mengakhiri karier mereka di lembaga antirasuah buntut gagal tes wawasan kebangsaan atau TWK. Total terdapat dari 70-an orang yang tak lolos, dan 58 di antaranya dipensiunkan paksa per Kamis, 30 September 2021 atau tiga tahun lalu.
Apa itu TWK?
Tes wawasan kebangsaan atau TWK adalah tes untuk mengukur pengetahuan dan pemahaman tentang empat pilar kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. TWK juga menguji pengetahuan tentang negara Indonesia.
Seluk-beluk TWK untuk pegawai KPK
Adapun TWK untuk pegawai KPK sempat menuai polemik sebab pelaksanaannya dinilai janggal. TWK tersebut dituding hanya sebagai alibi untuk menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas. Bahkan Ombudsman RI dan Komnas HAM menemukan adanya pelanggaran dalam penyelenggaraan, namun pengadilan menyatakan legal.
Pelaksanaan TWK bagi pegawai KPK dilakukan setelah disahkannya UU KPK yang baru dan regulasi turunannya. Dalam beleid anyar itu, status pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara atau ASN, bukan lagi pegawai lembaga negara. Sebab itu mereka kemudian diharuskan mengikuti tes sebagai agenda peralihan status tersebut.
Penyidik KPK, Praswad Nugraha, salah satu dari 58 mantan pegawai KPK yang dipecat, mengaku heran para pegawai KPK harus mengikuti TWK. Pasalnya, berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU KPK 2019, seluruh pegawai KPK adalah ASN. Artinya, karena peralihan status, pegawai KPK tak perlu mengikuti tes. Sehingga mereka otomatis menjadi ASN.
“Tiba-tiba disisipi dalam alih status harus ada wawasan kebangsaan, tiba-tiba tes wawasan kebangsaan yang hanya mengukur menjadi alat menyingkirkan orang-orang yang nyata-nyata berkontribusi secara nyata,” katanya kepada media, pada September 2021 lalu.
Novel Baswedan, saat itu selaku penyidik KPK, mencurigai aturan pelaksanaan TWK hasil selundupan. Menurutnya, aturan ini diduga diselundupkan pada tahap akhir pembuatan Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Aparatur Sipil Negara, yang ditandatangani oleh pimpinan KPK pada 27 Januari 2021.
“Tak pernah dibahas tes atau asesmen atau tes wawasan kebangsaan,” kata Novel kepada Tempo di Jakarta, pada Rabu, 19 Mei 2021.
Novel mengatakan aturan mengenai TWK baru muncul ketika rapat pimpinan di akhir Januari 2021. Draf yang mencantumkan aturan mengenai TWK inilah yang kemudian dibawa ke Kementerian Hukum dan HAM untuk disahkan. Bahkan saat penyerahan itu, hanya diantarkan oleh Firli Bahuri seorang, Ketua KPK saat itu.
“Ketika dibahas di hari terakhir, Sekjen, Karo SDM tak boleh ikut, Firli sendiri ke Kemenkumham,” ujar mantan perwira Polri ini.
Kejanggalan TWK
Masalah ini kian mencuat ketika diketahui bahwa 75 pegawai tidak lulus TWK. Melalui Surat Keputusan yang ditandatangani pada 7 Mei 2021, Firli meminta para pegawai tersebut dinonaktifkan dan menyerahkan tugas serta tanggung jawab kepada atasan langsung mereka. Pada pegawai KPK kemudian melapor ke Ombudsman RI dan KomNas HAM.
Ombudsman menemukan sejumlah kejanggalan pelaksanaan TWK. Salah satu temuan lembaga ini adalah, KPK yang dinilai mengabaikan pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi atau Jokowi. Presiden, dalam pidatonya, sempat meminta agar alih status pegawai KPK menjadi ASN tidak merugikan mereka yang telah lama bekerja di sana.
Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan, bukannya menuruti Presiden, Pimpinan KPK justru tak mencabut Surat Keputusan Nomor 652/2021 soal penonaktifan 75 pegawai KPK tersebut. Alhasil, menurut Robert, KPK telah melakukan tindakan maladministrasi dengan menerbitkan SK tersebut.
“Pengabaian KPK sebagai lembaga negara yang masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif terhadap pernyataan presiden tanggal 17 Mei 2021,” kata Robert dalam konferensi pers daring pada Rabu, 21 Juli 2021.
Selain KPK yang mengabaikan pernyataan Presiden, berikut 4 temuan lain Ombudsman soal tes wawasan kebangsaan:
1. Tanggal MoU KPK dengan BKN dibuat Mundur
Ombudsman menemukan adanya backdate nota kesepahaman pelaksanaan TWK antara KPK dengan BKN.
Nota kesepahaman pengadaan barang atau jasa melalui swakelola antara Sekretaris Jenderal KPK dengan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) ditandatangani pada 8 April 2021. Kemudian kontrak swakelola ditandatangani pada 26 April 2021.
“Namun, dibuat dengan tanggal mundur menjadi 27 Januari 2021. ORI berpendapat BKN dan KPK melakukan penyimpangan prosedur terhadap hal itu,” kata Robert.
Selain itu, KPK dan BKN melaksanakan asesmen TWK pada 9 Maret 2021, sebelum adanya penandatangan nota kesepahaman dan kontrak swakelola.
“Bisa dibayangkan jika barang ditandatangan pada April, dimundur ke Januari, kegiatan dilaksanakan di Maret. Ini penyimpangan prosedur yang cukup serius dalam tata kelola administrasi suatu lembaga dan mungkin juga terkait masalah hukum,” kata Robert.
2. BKN tak punya kompetensi
Ombudsman menyatakan BKN tidak memiliki alat ukur, instrumen, dan asesor untuk melakukan asesmen. “Yang BKN punya adalah alat ukur seleksi CPNS (calon pegawai negeri sipil),” ujar Robert.
Robert mengatakan, BKN menggunakan instrumen yang dimiliki oleh Dinas Psikologi Angkatan Darat. Instrumen ini mengacu pada Keputusan Panglima Nomor Kep/1078/XVII/2016 mengenai petunjuk pelaksanaan penelitian personel bagi PNS/TNI di lingkungan TNI.
Namun, BKN diketahui tidak memiliki atau menguasai salinan dokumen keputusan panglima tersebut. Sedangkan, dokumen keputusan panglima itu merupakan dasar bagi Dinas Psikologi Angkatan Darat untuk melakukan asesmen.
Sehingga tidak mampu memastikan kualifikasi asesor yang melakukan asesmen TWK, baik terkait kompetensi maupun sertifikasi asesor.
3. Pimpinan KPK tak transparan
Robert mengatakan KPK telah melakukan penyimpangan prosedur. Yakni karena tidak menyebarluaskan informasi rancangan peraturan pada sistem informasi internal setelah dilakukan proses perubahan dalam enam kali rapat harmonisasi soal alih status pegawai.
4. Ada penyalahgunaan wewenang
Ombudsman mengatakan penandatanganan berita acara harmonisasi peraturan alih status dilakukan oleh pejabat yang justru tidak hadir pada rapat. Yang hadir saat itu adalah Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri PANRB.
Sedangkan, kata Robert, yang meneken keputusan TWK adalah Kepala Biro Hukum KPK dan Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Direktorat Jenderal PP Kementerian Hukum dan HAM.
Kejanggalan soal TWK
Sementara itu, baik KPK maupun BKN tidak pernah menunjukkan kepada publik isi atau jenis pertanyaan yang diajukan sewaktu TWK. Namun, berdasarkan catatan Tempo dari pengakuan beberapa pegawai KPK, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkesan ganjil, mulai dari soal hasrat seksual hingga penggunaan doa qunut saat salat.
Beberapa pertanyaan lain yang diajukan adalah “Kenapa belum menikah?”, “Apakah bersedia jadi istri kedua?”, “Apakah membaca doa qunut?”, “Apakah ikut merayakan natal?”, dan “Apakah masih memiliki hasrat seksual?”
Akibat sejumlah pertanyaan nyeleneh itu, banyak pihak yang menduga bahwa pelaksanaan TWK sebagai momentum pemotongan ketajaman KPK. TWK terhadap pegawai KPK dinilai merupakan upaya penyingkiran penyidik-penyidik KPK yang tergolong berintegritas dan tak kenal takut. Dugaan ini juga disampaikan oleh salah satu guru besar di Universitas Indonesia (UI).
“Apakah bisa mengukur esensi rasa kebangsaan seseorang dengan tes dalam hitungan jam?” ujar Sulistyowati Irianto selaku Guru Besar Fakultas Hukum di UI.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | MICHELLE GABRIELA | M. ROSSENO AJI
Pilihan Editor: Polemik Tes Wawasan Kebangsaan KPK 3 Tahun Lalu, Novel Baswedan dkk: Jokowi yang Pecat Kami