TEMPO.CO, Jakarta - Public Engagement and Actions Manager Greenpeace Indonesia Khalisah Khalid menyoroti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024, perihal perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan. Ada sejumlah catatan dalam regulasi yang telah resmi diundangkan pada 4 September 2024 ini.
Greenpeace menyoroti Pasal 1 dalam ketentuan umum. Beleid di pasal ini menyatakan bahwa pejuang lingkungan hidup sebagai korban dan/atau pelapor, yang menempuh cara hukum. Khalisah menilai, ketentuan ini hanya melindungi pejuang lingkungan hidup yang menempuh jalur hukum atau litigasi.
Sementara, kata dia, dalam kerja advokasi pembelaan, jalur hukum sebenarnya hanya salah satu strategi. Ia mengatakan, ada dua jalur advokasi pembelaan lingkungan hidup, yakni jalur litigasi dan non-litigasi.
Dalam ketentuan regulasi itu, ia mempertanyakan soal perlindungan terhadap pejuang lingkungan yang menempuh jalur non-litigasi. "Terlebih, tidak mudah bagi warga negara untuk mendapatkan akses hukum yang adil, dan kami tahu fakta buramnya penegakan hukum di Indonesia," kata Khalisah ketika dihubungi, Selasa, 10 September 2024.
Karena itu, ia menilai bahwa semestinya upaya advokasi pejuang lingkungan lewat non-litigasi ini juga mendapatkan perlindungan setara dari negara. Asalkan, ujarnya, sesuai dengan konstitusi dan sejalan dengan koridor demokrasi.
Greenpeace juga menyoroti Pasal 9 yang berisi soal tata cara penanganan permohonan perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup. Aturan ini mengharuskan pejuang lingkungan hidup untuk membuat permohonan laporan, jika ingin memperoleh penanganan perlindungan hukum.
"Dari redaksinya, terlihat yang harus aktif adalah si pejuang lingkungan hidup. Sementara dalam kasus-kasus yang kompleks, seharusnya KLHK ambil peran aktif di sini," ucapnya.
Khalisah mengungkapkan, bahwa semestinya KLHK tak hanya menunggu laporan dari pejuang lingkungan hidup apabila ingin memberikan perlindungan hukum. Dia menyinggung ihwal sejumlah kasus lingkungan hidup yang dilaporkan ke KLHK, tapi tidak mendapatkan tindak lanjut secara serius.
Tata cara penanganan seperti itu, ujarnya justru membuat kasus-kasus lingkungan hidup semakin mengakumulasi konflik. "Terlebih lagi banyak kasus lingkungan hidup terjadi di pelosok, yang memiliki keterbatasan akses," katanya.
Ia mengatakan, semestinya hal semacam itu dijadikan pertimbangan oleh KLHK untuk lebih proaktif dalam segi pencegahan maupun penanganannya. Selain itu, Greenpeace juga mempertanyakan siapa pihak yang mengatur dan bertanggung jawab untuk menilai permohonan tersebut.
"Apakah KLHK akan membentuk tim khusus? Karena hanya disebutkan ada tim penilai permohonan," katanya.
Dia mengatakan, bahwa peraturan ini belum menjangkau pembungkaman terhadap pejuang lingkungan hidup dengan cara kekerasan. Dalam Pasal 5 ayat 2 hanya menyebutkan bentuk-bentuk tindakan pembalasan terhadap pejuang lingkungan hidup, salah satunya kekerasan.
"Tapi bagaimana penanganannya dan termasuk pencegahannya, di situ masih belum secara eksplisit dijelaskan," ucapnya.
Semestinya, ujar Khalisah, negara perlu memikirkan cara melindungi pejuang lingkungan hidup dari ancaman kekerasan yang bisa berujung pada kematian. Meski begitu, dia mengapresiasi lahirnya peraturan menteri yang memberikan perlindungan hukum terhadap pejuang lingkungan hidup.
"Meski cukup terlambat. Draf peraturan menteri ini cukup lama mengendap, dan mengakibatkan semakin banyak pejuang lingkungan hidup yang dikriminalisasi," ucapnya.
Pilihan Editor: Merespons Peluang Kemenangan Kotak Kosong di Pilkada