Selain itu, kata Titi, jika dilihat dari sisi konstruksi norma, frasa yang diutamakan dalam Pasal 54 D ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 tersebut adalah "diulang kembali pada tahun berikutnya”.
“Jadi dalam konteks ini, semestinya yang diutamakan adalah menyegerakan pemilihan ulang supaya ada kepemimpinan daerah definitif," ujarnya.
Dua Alternatif Jika Calon Tunggal Kalah pada Pilkada 2024
Adapun Ketua Divisi Teknis Komisi Pemilihan Umum atau KPU RI Idham Holik mengatakan, ketika calon tunggal kalah, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 54 D ayat 3 UU Pilkada, pilkada ulang dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau sesuai jadwal lima tahun sekali.
“Jika nanti diselenggarakan di tahun berikutnya, berarti pemilihan akan diselenggarakan pada bulan November 2025," kata Idham saat dihubungi di Jakarta pada Ahad.
Idham menuturkan, sesuai dengan aturan, calon tunggal pada Pilkada 2024 harus memperoleh lebih dari 50 persen suara sah, dan jika tidak maka daerah tersebut dipimpin oleh penjabat. Dia menjelaskan terdapat dua alternatif ketika calon tunggal tidak dapat memperoleh lebih dari 50 persen suara sah.
Menurut dia, dua alternatif tersebut yaitu mengadakan pilkada ulang pada tahun berikutnya. Kebijakan itu dilaksanakan sesuai jadwal yang termuat dalam peraturan perundang-undangan, yaitu setiap lima tahun sekali.
“Berarti ada dua alternatif tahun penyelenggaraan pilkada diulang kembali pada tahun berikutnya, atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan," ujarnya.
Dia menambahkan sampai tanggal terakhir pendaftaran yaitu pada 29 Agustus 2024 terdapat 43 calon tunggal terdiri dari satu provinsi, lima kota, dan 37 kabupaten. KPU memperpanjang masa pendaftaran bakal calon kepala daerah di provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki satu bakal pasangan calon mulai Senin, 2 September hingga Rabu, 4 September 2024.
Pilihan editor: Alasan Akademisi Sebut Kecil Kemungkinan Jokowi Masuk Gerindra