TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad pastikan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) pilkada batal dilaksanakan dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pilkada akan berlaku. Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) Efatha Filomeno Borromeu Duarte menyebut langkah untuk mematuhi putusan MK ini bukan sekedar manuver politik tapi adalah strategi bertahan di tengah gejolak.
“Saya melihat bahwa langkah Prof Dasco untuk mematuhi putusan MK ini bukan sekedar manuver politik, tapi ini adalah strategi bertahan di tengah gejolak, kalau di dalam politik itu ada momen dimana bertahan itu adalah bentuk perlawanan, jadi Prof Dasco ini tampaknya memilih jalur untuk kepentingan yang lebih besar,” ujarnya kepada Tempo.co, Jumat, 23 Agustus 2024.
Ia menjelaskan putusan MK mestinya tidak boleh dikompromikan. “Sebenarnya dalam tanda kurung putusan MK itu tidak boleh dikompromikan, nah meskipun itu kemudian menentang arus besar kepentingan dalam parlemen atau kepentingan elit di belakang,” ujarnya.
“Ada satu adagium juga yang tidak boleh kita lupakan bahwa ‘salus populi, suprema lex esto’, bahwa keselamatan rakyat harus jadi hukum tertinggi, tapi dengan adanya gelora kebangkitan, gerakan di masyarakat itu akhirnya menyebab Dasco mengambil keputusan kenegaraan itu,” kata Efatha.
Sebelumnya Baleg DPR RI melakukan rapat pembahasan RUU Pilkada hanya sehari setelah MK menetapkan perubahan ambang batas serta syarat usia pencalonan kepala daerah.
Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 60/PUU-XXII/2024 berisi perubahan tentang ambang batas (threshold) pencalonan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang diajukan oleh Partai Buruh dan Gelora. Sementara itu, Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa syarat usia calon kepala daerah harus terpenuhi pada saat penetapan pasangan calon peserta pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menurut Efatha, putusan MK tersebut telah memberikan ruang bagi partai-partai kecil dan memecah hegemoni yang selama ini tidak tersentuh. “Menurut saya ini adalah momen di mana keadilan hukum betemu dengan keadilan politik, dan ini tentu memecah hegemoni yang selama ini tidak tersentuh ya dan tak tergoyahkan,” kata dia, “harus kita akui ini merupakan langkah berani yang sangat-sangat revolusioner untuk hari ini,” lanjutnya.
Lebih lanjut Efatha juga menyoroti tindakan Baleg DPR yang berusaha menganulir putusan MK sebagai cerminan dari kekhawatiran akan intrupsi pada stabilitas kekuasaan yang selama ini cukup stabil. Efatha juga meyebut kondisi ini sebagai pertempuran antara legalitas dan legitimasi.
“Kalau kita sederhanakan adalah pertempuran antara legalitas dan legitimasi, jadi ini jatuhnya dianggap sebagai penghianatan terhadap semangat reformasi, yang merupakan pilihan utama dari demokrasi itu sendiri, dan ini tentu akan mendapatkan banyak sekali catatan-catatan kritis,” kata dia.
Adapun upaya Baleg DPR menganulir putusan MK ini telah memantik gerakan perlawanan di sejumlah titik wilayah di Indonesia termasuk di Bali. Pada Jumat, 23 Agustus 2024 BEM Unud Bali bersama sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi massa di depan Universita Udayana, Sudirman.
Efatha pun turut hadir langsung di tengah massa aksi yang melakukan unjuk rasa. Kepada Tempo ia mengatakan gerakan mahasiswa itu merupakan cerminan dari ketidakpuasan yang semakin memuncak pada kondisi politik hari ini sekaligus alarm bagi pemerintah.
“Kalau generasi muda sudah turun, ini menandakan bahwa pemerintah itu dianggap kehilangan kontak dengan realitas masyarakat, maka gerakan ini tidak bisa diabaikan, karena ini tentu mengusung tuntutan perubahan yang mendasar sebuah perlawanan terhadap status quo,” pungkasnya.
NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI | NI MADE SUKMASARI
Pilihan Editor: Aksi Kawal Putusan MK, Guru Besar UGM: Pembuktian Anak Muda Sadar Demokrasi