TEMPO.CO, Jakarta - Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, menyatakan kegelisahanya melihat dinamika politik yang terjadi belakangan ini. Ia menyinggung soal dominasi kekuasaan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Ketua Umum PDIP itu mengatakan, ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang semestinya menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tak diakomodir oleh pemerintah.
"Yang saya perhatikan dalam praktik wajah kekuasaan. Kini, lebih dominan ditampilkan daripada wataknya yang membangun peradaban," ujar Megawati dalam pidatonya di kantor Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Kamis, 22 Agustus 2024.
Padahal, kata dia, kepatuhan terhadap ideologi Pancasila dan konstitusi adalah menjadi hal pokok yang mewarnai sejarah peradaban kemerdekaan Indonesia.
Megawati mengatakan, kehidupan suatu bangsa dapat hancur berantakan apabila tidak kokoh pada konstitusi. Ia menegaskan, bahwa konstitusi wajib dipatuhi karena merupakan wasiat yang diturunkan oleh para pendiri bangsa, jauh sebelum Indonesia merdeka.
"Karena itu kita harus bersatu untuk menyelamatkan negara hukum dan demokrasi," ujar dia.
PDIP, ia melanjutkan, akan terus melawan pihak-pihak yang membangkang terhadap hukum dan konstitusi negara. Ia mengingatkan DPR dan pemerintah untuk tidak menyiasati penyelenggaraan pemilihan kepala daerah mendatang.
Menurut Megawati, Pilkada tidak boleh didelegitimasi dengan dikangkangi melalui pembentukan aturan yang tidak sejalan dengan muruah dan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Siapa pun pemenang, terima saja. Jangan jadikan ini ajang untuk memanuver kekuasaan lalu menghilangkan kontestasi yang sehat dan demokratis," kata Megawati.
Pada rapat panitia kerja revisi Undang-Undang Pilkada, 21 Agustus 2024, Fraksi PDIP menjadi satu-satunya fraksi partai politik yang menentang pengesahan revisi ini dibawa ke rapat paripurna DPR.
Anggota Badan Legislasi DPR dari fraksi PDIP, Muhamad Nurdin mengatakan, keputusan panja Baleg DPR merevisi Undang-undang Pilkada dapat menjadi preseden buruk terhadap hukum.
Menurut dia, tidak ada satu pun negara yang dapat mengintervensi putusan lembaga tertinggi hukum, termasuk lembaga politik seperti DPR. Sebab, putusan MK adalah final dan mengikat.
"MK, baik dalam putusan maupun pertimbangannya, telah mengatur secara rinci dan jelas tanpa perlu ditafsirkan kembali,” ucap Nurdin.