TEMPO.CO, Jakarta -Di hadapan Presiden Jokowi, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani berbicara soal kualitas pemilihan umum (Pemilu) 2024 dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Jumat, 16 Agustus 2024. Dalam pidatonya di Gedung Nusantara, kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Puan mengatakan, Pemilu 2024 harus menjadi bahan evaluasi ke depannya.
Puan menyoroti para kandidat yang berupaya menyenangkan pemilih dalam upaya merebut suara. “Foto diri terbaik dipajang sampai ke pelosok-pelosok, rumah makan. Bahkan pohon-pohon menjadi korban dan tiang listrik penuh tempelan,” kata Puan. “Semua cara dilakukan untuk mendapatkan suara rakyat.”
Menurut Puan, Pemilu adalah hal indah untuk dikenang bagi mereka yang berhasil. Sementara bagi yang belum berhasil merasa serba sulit. “Sulit makan, sulit tidur, bahkan ada yang sulit untuk bangkit kembali,” ujar Puan.
Puan mengatakan Pemilu 2024 harus menjadi kritik dan autokritik untuk kita semua. Saat ini Pemilu 2024 telah berakhir, rakyat telah menggunakan hak kedaulatannya dan memberikan pilihannya. Apa pun hasil Pemilu, kata Puan, rakyat tidak dapat disalahkan atas pilihan mereka.
Baca juga: Puan Sindir Kualitas Pemilu di Sidang Tahunan MPR, Djarot PDIP Minta Publik Kawal Pilkada
Menurut Puan, rakyat memilih berdasarkan apa yang diketahui dan dipahaminya, terlepas dari kualitas pengetahuan dan pemahaman mereka. Akan tetapi kebebasan rakyat untuk memilih juga harus diperhatikan dalam pelaksanaan Pemilu 2024. “Apakah Pemilu saat itu memenuhi syarat-syarat bebas, jujur, dan adil? Silakan dijawab,” ucap putri Presiden Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri.
Puan menyatakan nilai-nilai yang membuat kualitas sebuah Pemilu jadi baik. Misalnya, rakyat dapat memilih dengan bebas, jujur, adil, tanpa paksaan, tanpa dikendalikan, dan tanpa rasa takut. Setiap orang yang terlibat, kata dia, dituntut untuk memiliki etika politik, yaitu siap kalah, siap menang, siap bertanding, dan juga siap bersanding.
Puan mengatakan etika politik yang sama juga menuntut Pemilu dilaksanakan dengan memberikan kebebasan kepada rakyat. “Sehingga berlaku adagium ‘Suara rakyat adalah suara tuhan’,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP itu.
Pilihan editor: Efek Buruk Serangan Fajar bagi Demokrasi yang Sehat