Menurut penelitian yang dilakukan pihak Australia, 80 persen masyarakat Indonesia tidak memiliki akses ke pengadilan untuk mengurus perkara kekeluargaan. Perkara tersebut meliputi pengurusan perceraian dan permintaan penetapan akta kelahiran di pengadilan. "Masalahnya adalah finansial, mereka tidak mampu membayar biaya perkara dan biaya trasportasi," kata dia.
Akibatnya, 60 persen anak Indonesia tidak memiliki akta kelahiran. "Padahal akta kelahiran penting untuk mengakses layanan yang diberikan pemerintah seperti sekolah," kata dia.
Selain membebaskan biaya perkara, MA juga disarankan untuk mengadakan pengadilan keliling. Tujuannya, agar masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya karena pengadilanlah yang mendatangi pihak berperkara.
Ketua Pengadilan Federal Australia Michael Black mencontohkan bahwa pembebasan biaya perkara sudah dilakukan di negaranya. "Biaya perkara dibebaskan jika menyulitkan pencari keadilan," kata Black. Dia juga menjelaskan, uang biaya perkara yang diterima pengadilan Australia seluruhnya diserahkan kepada pemerintah.
Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa mengakui bahwa pembebasan biaya perkara bagi rakyat miskin merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan. Namun menurutnya upaya tersebut terhambat adanya Undang-undang yang menyatakan bahwa biaya perkara dibayar oleh para pihak. "Kami akan mencoba mengubah UU tersebut," kata dia.
Harifin menjelaskan, upaya mengubah UU membutuhkan waktu yang lama. Sebab pembebasan biaya perkara untuk rakyat miskin akan berlaku untuk semua perkara perdata, tata usaha negara dan agama.
Adapun mengenai pengadilan keliling, menurut Harifin pengadilan semacam itu sudah berjalan di beberapa daerah terpencil, antara lain di Mataram, NTT. "Tapi hakim agung tidak perlu, karena berkasnya bisa dikirim saja," ujar Harifin.
FAMEGA SYAVIRA