TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta, Dwi Wijayanto Rio Sambodo, mengkritik soal aturan penerapan pemungutan pajak untuk hunian kedua dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp 2 miliar harus dilakukan sosialisasi secara menyeluruh ke masyarakat. Selain itu dia menilai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus menghapus kebijakan untuk rakyar.
"Pemberlakuan kembali PBB untuk hunian warga di bawah Rp 2 miliar yang jumlahnya di atas 1 unit harus diberikan sosialisasi secara menyeluruh kepada warga masyarakat, agar masyarakat tidak mendapatkan informasi setengah setengah," kata Dwi Rio kepada Tempo melalui pesan singkat pada Senin, 24 Juni 2024.
Politikus Partai Demikrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menjelaskan aturan penghapusan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebenarnya sudah berlaku sejak masa jabatan Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama. Kemudian masa Anies Rasyid Baswedan. Ia menyebut jika Pemerintah Provinsi (Pemrov) DKI Jakarta saat ini mengatakan penggratisan pajak karena upaya pemulihan ekonomi saat pandemi Covid-19 itu tidak ada hubungannya.
"Perlu digarisbawahi bahwa penghapusan PBB untuk rumah di bawah Rp 2 miliar sudah dimulai sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia," tuturnya.
Menurutnya, pemberlakuan kembali PBB tersebut harus dilakukan dengan peningkatan pelayanan Pemprov DKI Jakarta. Dia mencontohkan pada 2023 Pemrov dianggap kedodoran dalam alokasi anggaran untuk warga salah satunya penghapusan ribuan penerima Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) dan terlambatnya pembayaran Kartu Jakarta Pintar (KJP). Dia tidak jelaskan detail kasus penghapusan KJMU itu.
Baca juga:
Dwi Rio menilai Pemprov DKI Jakarta saat ini terus berupaya menghapus kebijakan-kebijakan untuk masyarakat. "Ini sebenarnya cukup ironi ya," ucapnya.
Dia mengatakan kebijakan Pemprov DKI Jakarta harus matang dan tepat sasaran. "Jangan sampai niatnya untuk mewujudkan keadilan dalam pemungutan pajak bagi warga Jakarta malah tidak berjalan semestinya dan mengorbankan sektor-sektor lainnya. Pemprov Jakarta jangan sampai gagal dalam memberikan pelayanan terbaiknya," tuturnya.
Dwi Rio menyarankan kepada Pemprov sejalan dengan pemungutan pajak harus diikuti dengan peningkatan pelayanan seperti mengatasi macet, banjir dan pelayanan publik lain. "Kenyataannya, macet, banjir dan pelayanan publik juga belum meningkat signifikan. Bahkan fasilitas sosial yang seharusnya diberikan kepada warga justru dihapus oleh Pemprov dengan berbagai persyaratan yang semakin rumit, " kata dia.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansah menanggapi penerapan regulasi baru dari Pemerintah Provinsi Jakarta soal tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk hunian dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di bawah Rp 2 miliar. Regulasi tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2024.
Menurut dia, penerapan tarif PBB tersebut bukan karena pasca Covid-19, tapi lantaran DKI berubah menjadi DKJ (Daerah Khusus Jakarta). "Sekarang diberi tarif kembali karena Jakarta enggak jadi Ibu Kota lagi. Itu kaitannya dengan pendapatan," kata Trubus kepada Tempo melalui saluran telepon pada Selasa, 18 Juni 2024.
Trubus menilai DKJ saat ini sedang gencar mencari sumber pendapatan daerah. Sebabnya, selama menjadi ibu kota negara, pemerintah DKI Jakarta terbantu dengan kucuran anggaran dari pusat. "Itu ditetapkan DKJ APBD-nya nyari sendiri," tuturnya.
Penerapan pajak rumah di bawah Rp 2 miliar itu, menurut dia, menunjukan bahwa pemerintah yang dipimpin Heru Budi Hartono itu sedang mencari pemasukan daerah. "Nah kelihatannya Pak Pj Gubernur ini mencoba untuk mengubah semua itu yang di bawah Rp 2 miliar harus bayar pajak," ujarnya.
Saat ditanya apakah ada hubungannya penerapan tarif pajak untuk hunian di bawah Rp 2 miliar dengan pemulihan ekonomi pasca Covid-9, Trubus menepisnya. Dia mengatakan kebijakan pembayaran pajak Rp 0 untuk hunian di bawah Rp 2 miliar sudah diterapkan pada masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dan kemudian lanjutkan saat era Anies Baswedan.
Pembebasan pajak tersebut pun bisa dimanfaatkan menjadi salah satu kebijakan politik untuk menarik suara. "Enggak untuk pemulihan ekonomi. Sebelumnya sudah pernah karena pak Ahok dulu menerapkan itu malah di bawah Rp 1 miliar. Kalau pak Anies bikin Rp 2 miliar jadi itu persaingan tersendiri," ucapnya.
Kebijakan keringanan pembayaran PBB sudah diterapkan pada 2013 lalu, saat Joko Widodo menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jokowi mengeluarkan aturan Pergub Nomor 84 Tahun 2013.
Namun, keringanan hanya untuk kalangan tertentu seperti veteran, mantan gubernur, wakil gubernur, mantan presiden dan wakilnya serta punawirawan TNI Polri. Mereka diberi keringanan hingga 75 persen.
Kemudian, aturan itu berlanjut pada masa Ahok. Saat itu, Ahok merevisi regulasi itu melalui Pergub Nomor 259 tahun 2015, yang isinya menggratiskan pajak rumah dengan NJOP di bawah Rp 1 miliar. Kemudian pada masa Anies melalui Pergub Nomor 23 Tahun 2022, kebijakannya diperluas lagi dengan menggratiskan rumah dengan NJOP di bawah Rp 2 miliar.
Sedangkan kebijakan teranyar yang diteken Heru Budi, mengubah aturan itu dengan hanya menggratiskan untuk satu rumah saja yang memiliki harga di bawah Rp 2 miliar.
Pilihan Editor: Keringanan hingga Pembebasan PBB-P2 di Jakarta Dengan NJOP di Bawah Rp 2 miliar, Apa Syaratnya?