TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2024 terkait BPJS Kesehatan. Peraturan tersebut merupakan Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Peraturan tersebut menghapus sistem kelas 1- 3 BPJS Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan dan menerapkan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) sebagai penggantinya paling lambat 30 Juni 2025. Peraturan tersebut telah dikeluarkan sejak 8 Mei 2024.
Pada Pasal 103B Ayat 1 mengatur tentang masa berlakunya sistem KRIS yang akan mulai berlaku paling lambat 30 Juni 2025.
"Dilaksanakan secara menyeluruh untuk rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan," seperti dikutip dari salinan Perpres tersebut, Senin, 13 Mei 2024.
Peraturan tersebut menuai berbagai komentar terkait dampaknya menilai terhadap masyarakat kedepannya.
1. Perpres Baru akan Hilangkan Pandangan Buruk Kesehatan di Antara Orang Laya dan Miskin
Pakar Kebijakan Kesehatan dari Universitas Airlangga (Unair), Ernawaty, menilai penghapusan sistem kelas oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda. “Ada sisi positif dan negatif terhadap kebijakan ini,” ujarnya melalui keterangan tertulis, pada 27 Mei 2024
Kategorisasi kelas BPJS Kesehatan menentukan besaran pembayaran iuran setiap bulan oleh peserta. Pembagian itu juga membedakan jenis kelas rawat inap yang diterima pasien.
Menurut Ernawaty, kebijakan itu bisa dianggap positif karena hilangnya perbedaan buruk kesehatan di antara orang kaya dan miskin. “Terutama soal rawat inap,” kata dia.
2. Rumah Sakit akan Keluarkan Biaya Besar dan Kemungkinan Kenaikan Iuran
Di sisi lain Ernawaty juga menilai ada dampak buruk karena mayoritas rumah sakit di Indonesia telanjur menerapkan sistem perbedaan kelas. Dengan Pepres baru, kata Ernawaty, rumah sakit harus mengeluarkan biaya besar untuk ruangan dan fasilitas lainnya, sesuai ketentuan.
“Masyarakat juga khawatir soal turunnya jumlah tempat tidur rumah sakit dan kemungkinan iuran yang naik,” kata dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair tersebut.
Untuk mengatasi potensi masalah baru, Ernawaty mendorong penyiapan kajian yang baik untuk penyesuaian iuran BPJS. Penelitian itu harus transparan dan dipahami dengan baik oleh masyarakat.
Hal penting lainnya adalah urgensi penyelesaian masalah distribusi tenaga kesehatan di Indonesia. “Hingga kini belum merata di seluruh Indonesia,” tutur dia.
Dia mengimbuhkan, masih banyak fakultas kedokteran dan fakultas kesehatan yang tidak menjamin penempatan lulusannya di daerah. Tanpa sebaran tenaga yang kompeten, upaya perbaikan kualitas layanan kesehatan masih jauh panggang dari api.
3. Penyeragaman Kelas Standar Mengebiri Hak Konsumen
Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, Rio Priambodo mengatakan yang dibutuhkan masyarakat peserta BPJS Kesehatan saat ini, standardisasi kelas. Ia menilai pemerintah terkesan terlalu memaksakan pemberlakuan sistem baru tersebut. YLKI, kata Rio, mengingatkan pemerintah untuk membuat kebijakan yang bijak bagi konsumen. Rio Priambono mengatakan bahwa penyeragaman kelas standar mengebiri hak konsumen dalam suatu layanan.
Pemerintah sudah mewacanakan penghapusan sistem kelas BPJS Kesehatan dan menggantikannya dengan sistem KRIS sejak tahun lalu. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut layanan KRIS yang aturannya sedang disiapkan itu menjunjung tinggi kenyamanan yang diberikan kepada seluruh masyarakat. Budi mengatakan layanan KRIS memiliki standar minimal yang diterapkan di masing-masing kelasnya. "Standar tersebut ditujukan supaya pelayanan kesehatan yang diberikan BPJS Kesehatan kepada masyarakat jauh lebih baik dan nyaman," kata dia usai konferensi pers di RSCM pada Jumat, 14 Juli 2023, dikutip dari Antara.
TIARA JUWITA | HANA SEPTIANA | DANIELA A FAJRI
Pilihan editor: Tak Hanya SIM, Ini 10 Layanan Masyarakat yang Wajib Pakai BPJS Kesehatan