“Revisi UU TNI ini kelihatan ya mereka memang mau kembali mengambil masa kejayaan mereka itu. Apalagi kalau kita perhatikan, situasi yang saat ini di Indonesia dan juga pas zaman Orde Baru, itu agak mirip dalam segi kita kayak kembali lagi ke rezim pembangunan,” ungkap Annisa.
Annisa mengatakan pembangunan berfokus pada satu subjek, yaitu negara yang aman, yang melibatkan aparat di berbagai titik.
Dia memerinci, menurut pemantauan PBHI, dari 150 Proyek Strategis Nasional (PSN) saat ini, ada 114 proyek yang melibatkan anggota TNI untuk berjaga dan mengamankan objek-objek investasi. Annisa menegaskan, ketika negara terlalu berfokus pada pembangunan dengan menggunakan pendekatan keamanan, ini berpotensi mengarah pada negara otoriter.
“Negara yang otoriter artinya Hak Asasi Manusia tidak dihargai, kemudian supremasi sipil, demokrasi hanya bualan belaka saja,” ujarnya.
Annisa menilai revisi UU TNI menunjukkan tidak ada perubahan menuju demokrasi, tetapi justru TNI ingin mempertahankan kekuasaan yang sama, bukan menjadi militer yang lebih profesional. Menurut dia, TNI saat ini seperti ingin menjadi 'toko serba ada' yang memiliki berbagai layanan yang dibutuhkan. Kurangnya diferensiasi antara tugas sipil dan militer, menurut Annisa, berpotensi meningkatkan absolutisme dan impunitas terhadap pelanggaran HAM.
Dia menyebutkan revisi UU TNI juga dilihat sebagai upaya TNI melepaskan diri dari kontrol Presiden. “Secara struktur militer itu sangat besar dan juga mirip seperti pemerintah sipil pada dasarnya, karena dia ada di level nasional sampai ada di level daerah,” kata Annisa.
YOHANES MAHARSO JOHARSOYO | ADINDA JASMINE PRASETYO
Pilihan editor: Beda Sikap Soal Perpanjangan Usia Pensiun Polisi dalam Revisi UU Polri