TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menyoroti peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam sengketa pileg yang tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi atau MK.
Ray mengatakan anggota hakim MK telah meluapkan kejengkelan kepada KPU karena dianggap tidak serius menghadapi sidang perselisihan hasil pemilihan umum alias PHPU. Kejengkelan ini, kata dia, juga pernah ditunjukan oleh MK kepada Bawaslu yang dianggap terlalu pasif dalam mengawasi pilpres 2024.
Pada Kamis, 2 Mei kemarin, hakim konstitusi Arief Hidayat sempat menegur KPU karena tidak ada komisioner yang datang dalam sidang sengketa pileg. Arief bahkan menyebut KPU tidak serius.
Menurut catatan Tempo, pada sidang sengketa pilpres Senin, 1 April lalu, Arief juga menegur Bawaslu. Hakim MK ini menilai Bawaslu berperan pasif dalam pengawasan pemilu 2024.
"Apa yang terjadi tidaklah terlalu mengherankan," ujar Ray dalam keterangan resminya pada Sabtu, 4 Mei 2024.
Dia menuturkan, entah sudah berapa kali KPU dan Bawaslu diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP. Pengaduan ini entah karena kelalaian maupun dugaan pelanggaran etik lainnya.
"Dari sini saja terlihat, KPU dan Bawaslu seperti tak peduli pada pandangan orang," ucap Ray.
Menurut dia, ada tiga persoalan penyebab KPU maupun Bawaslu seperti tidak memprioritaskan sengketa di MK. Pertama, kata Ray Rangkuti, nama dan wibawa MK jauh merosot di mata masyarakat.
Ini khususnya setelah MK mengeluarkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan ini menjadi jalan pembuka bagi calon wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka untuk melaju di pilpres 2024.
Selain itu, putusan 90 mendapatkan kritik dari berbagai elemen masyarakat. Ketua MK sebelumnya Anwar Usman juga diberhentikan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akibat putusan ini.
"Di luar itu, minimnya terobosan putusan hukum yang dibuat oleh MK, menjadikan masyarakat kurang melirik MK sebagai institusi yang memberi penguatan bagi kualitas demokrasi Indonesia," ujar Ray.
Kedua, pengamat politik ini menilai besar kemungkinan MK tidak akan mengambil putusan di luar dugaan dalam sengketa PHPU pileg 2024. Ray bahkan menduga 95 persen permohonan sengketa pileg akan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Dia menjelaskan, pendapatnya ini berkaca pada permohonan sengketa pilpres kemarin. Putusan MK yang menolak permohonan PHPU pilpres 2024, kata dia, memberi gambaran betapa sulitnya membuat hakim MK yakin atas dugaan adanya berbagai kecurangan dalam pemilu.
Menurut Ray, ini terjadi bahkan dengan data yang berkilau, kuat, dan berlimpah. Apalagi, kata dia, dalam sengketa pileg yang umumnya hanya menyasar soal selisih suara.
"Ketiga, pandangan kedua tersebut mungkin juga menghinggapi para komisioner KPU maupun Bawaslu yang membuat mereka tidak antusias datang menghadiri sidang PHPU di MK," ucap Ray Rangkuti.
Sebab, kata dia, besar kemungkinan pemohon PHPU akan ditolak oleh MK. Ini karena sulitnya pembuktian kecurangan yang dapat menimbulkan keyakinan para hakim MK.
Pilihan Editor: Dianggap Tak Serius Hadapi Sidang Sengketa Pileg oleh MK, Komisioner KPU Kompak Membantah