TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menyoroti defisit demokrasi dalam dissenting opinion-nya alias pendapat berbedanya dalam perkara sengketa pilpres yang diajukan oleh Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar.
Arief Hidayat menuturkan, dari pelaksanaan enam kali pemilihan umum, dapat diukur kadar kematangan atau tingkat maturitas demokrasi Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia telah menggelar enam kali pemilu, yaitu pada 1999, 2004, 2009, 2014, 2019, dan 2024.
"Sebab, penyelenggaraan pemilhan umum yang adil dan dilaksanakan secara berkala acapkali dijadikan salah satu instrumen untuk mengukur apakah kadar demokrasi kita semakin baik, atau bahkan mengalami penurunan, atau jangan-jangan tanpa disadari boleh jadi demokrasi kita saat ini mengarah pada titik defisit demokrasi yang mengkhawatirkan," kata Arief di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin, 22 April 2024.
Sebab, kata dia, ternyata tampak jelas secara kasat mata adanya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat fundamental terhadap prinsip-prinsip Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi telah menolak secara keseluruhan permohonan sengketa pilpres yang diajukan oleh Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dalam sidang sengketa pilpres pamungkas yang digelar hari ini.
Dalam pembacaan putusan, para hakim konstitusi mementahkan dalil-dalil yang diajukan oleh kubu Anies dan Muhaimin. Misalnya, soal politisasi bansos, ketidaknetralan aparat dan sebagainya.
Kendati demikian, ada tiga hakim konstitusi yang memberikan pendapat berbeda. Ketiganya adalah Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.
Pilihan Editor: Saldi Isra: Seharusnya MK Perintahkan Pemungutan Suara Ulang di Beberapa Daerah