TEMPO.CO, Jakarta - Rencana Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk bertemu Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri memantik perhatian publik.
Pasalnya, hubungan Megawati dan Jokowi dinilai memanas sejak dimulainya pemilihan presiden dan wakil presiden atau Pilpres 2024.
Bekas Wali Kota Solo itu dinilai melakukan manuver terhadap PDIP dengan merestui putra sulungnya, yaitu Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo Subianto. Sementara Megawati telah mengusung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden dari PDIP.
Setelah hubungan keduanya dinilai merenggang, baru-baru ini berhembus wacana Jokowi ingin bersilaturahmi dengan Megawati. Namun, partai banteng bereaksi dan mensyaratkan Jokowi menemui pengurus ranting PDIP sebelum menemui Megawati.
Lantas, bagaimana para pengamat politik menilai peluang pertemuan antara Presiden Jokowi dan Megawati? Dapatkah keduanya bertemu pasca-Pilpres 2024? Berikut pernyataan para pengamat politik yang dikutip dari Tempo.
Agung Baskoro: Hukuman politik
Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro mengatakan, syarat yang disampaikan PDIP kepada Jokowi untuk bertemu Megawati menjadi tanda kemarahan partai banteng terhadap bekas Gubernur DKI Jakarta itu.
"Ini adalah hukuman politik bagi kader yang dinilai melakukan pelanggaran berat," kata Agung saat dihubungi, Ahad, 14 April 2024.
Menurut Agung, pertemuan antara Jokowi dan Megawati sulit teralisasi melihat reaksi kader partai banteng yang telah kecewa dengan sikap presiden. Hubungan antara Jokowi dan Megawati, kata dia, justru berpotensi amat besar memburuk, bahkan setelah Jokowi menanggalkan jabatannya sebagai Presiden.
Jika Jokowi masih ingin bertemu Megawati, kata Agung, maka presiden mesti memenuhi syarat untuk menemui kader PDIP dari tingkat ranting terlebih dulu.
"Jokowi mesti memenuhi syarat yang dimintakan agar hubungannya dengan Megawati dan PDIP tetap terjaga," ujarnya. "Ini bukan degradasi politik. Mesti dilakukan karena yang tersakiti bukan hanya Megawati saja, tapi keseluruhan PDIP."