TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Antropologi Indonesia menyampaikan seruan dalam persoalan carut-marut kondisi demokrasi saat ini. Seruan itu dibacakan oleh Ketua Umum Asosiasi Antropologi Indonesia atau AAI Suraya Afif di Rumah Bung Hatta pada Jumat, 9 Febuari 2024.
Suraya mengatakan, masyarakat perlu bersikap kritis dan terus mengawal nilai-nilai etik dan moral para calon presiden dan wakil presiden serta calon legislatif agar pemilihan umum atau Pemilu 2024 berlangsung secara jujur dan adil.
"Presiden, pada pejabat, serta calon wakil rakyat harus menjadi suri tauladan dengan mengaktifkan nilai-nilai kejujuran dan kepatuhan yang menjunjung tinggi moral luhur dalam demokrasi. Bukan justru menimbulkan kerancuan dan kebingungan," kata Suraya.
Ia menyerukan semua pihak termasuk calon pemimpin di negeri ini agar kembali kepada jati diri sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung etika dan moral dalam berpolitik. "Kita tidak boleh lupa dengan cita-cita reformasi yang telah diperjuangkan dengan darah, air mata, dan nyawa," kata dia.
Suraya mengatakan, para martir reformasi tidak boleh mati sia-sia dalam perjuangannya memperjuangkan Indonesia. Sebab, kata Suraya, masyarakat harus menagih utang untuk mengadili para pelanggar hak asasi manusia atau HAM berat masa lalu.
"Kita juga harus menagih pertanggungjawaban mereka yang telah membunuh dan menghilangkan jasad para pejuang reformasi," katanya.
Dia juga mengatakan, politik seharusnya tidak hanya dilihat sekadar ajang untuk meraih kekuasaan, tetapi juga sebagai sarana pendidikan karakter bangsa.
Sebelumnya, Masyarakat Antropologi Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), Forum Kajian Antropologi (FKAI), Asosiasi Dapartemen dan Jurusan Antropologi Seluruh Indonesia (ADJASI) dan Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI) juga menyerukan keprihatinan atas situasi dan kondisi negara Indonesia saat ini.
Dalam seruan itu, Direktur Utama FKAI Mulyawan Karim menyampaikan, berkumpulnya Antropolog bukan kali pertama. Namun kali ini, Antropolog kembali berkumpul untuk menyuarakan kondisi politik dan negara yang saat ini sedang memprihatinkan.
"Kami sengaja berkumpul di Rumah Bung Hatta, karena kami nilai sebagai sosok pemimpin dan negarawan pemberi tauladan bagaimana caranya berpolitik dengan santun, bermartabat, dan rendah hati dan tidak melihat kekuasaan dan jabatan sebagai sesuatu yang dapat digunakan secara semena-mena," kata Mulyawan di Rumah Bung Hatta pada Jumat, 9 Febuari 2024.
Mulyawan mewakili Masyarakat Antropologi Indonesia menilai, pembelajaran dan keteladanan yang berkenaan dengan nilai-nilai yang diberikan oleh tokoh bangsa termasuk Bung Hatta telah hilang. "Sayang, semua yang telah diberikan oleh Bung Karno dan tokoh pendiri bangsa ini, kini sepertinya telah sirna," kata Mulyawan.
Maka, hari ini Mulyawan menyatakan untuk berkumpul bersama antropolog untuk menyuarakan keprihatinan. Setidaknya ada 10 poin seruan keprihatinan yang disampaikan oleh Masyarakat Antropologi Indonesia.
1. Prihatin dengan lunturnya etika, moral, nilai kejujuran dan integritas berbangsa dan bernegara yang seyogyanya dijunjung tinggi.
2. Prihatin melihat munculnya praktik yang menormalkan politik kekerabatan dengan memanipulasi peraturan perundangan yang merusak nilai-nilai dasar demokrasi.
3. Prihatin akan banyaknya elite politik yang meredukasi demokrasi, hanya sebatas strategi politik yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara.
4. Prihatin atas perilaku politik transaksional uang dalam meraih kekuasaan.
5. Prihatin akan terjadinya manipulasi aturan-aturan hukum sebatas untuk memperoleh kekuasaan.
6. Prihatin dan gusar atas terjadinya berbagai tindakan yang melegitimasi penyalahgunaan sumberdaya negara, termasuk bantuan sosial untuk mendulang suara dalam pemilihan umum.
7. Prihatin dan gusar atas terjadinya pelemahan secara sistematis lembaga-lembaga negara demo berbagai kepentingan politik kelompok tertentu.
8. Prihatin dengan adanya usaha-usaha melegitimasi politik uang, yang dipraktikkan secara vulgat tanpa malu-malu.
9. Prihatin atas adanya kenyataan bahwa korupsi malah dijadikan alat dan strategi untuk meraih kekuasaan.
10. Prihatin menyaksikan hilangnya budaya malu yang dooertontonkan oleh sebagian elite politik dan meluasnya budaya arogansi dalam praktek penyelenggaraan kekuasaan dan demokrasi.
Pilihan Editor: Koalisi Perempuan Sebut Demokrasi Kacau dan Pemerintah Jokowi Diskriminatif