TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak perkara uji formil terhadap aturan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden yang diatur Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Menurut putusan yang dibacakan hakim konstitusi Guntur Hamzah, hal tersebut salah satunya karena MK tidak mengenal istilah putusan yang tidak sah.
"Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengenal adanya putusan yang tidak sah,” kata Guntur di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat pada Selasa, 16 Januari 2024. Guntur menyatakan hal itu tetap berlaku meski dalam proses pengambilan putusan terbukti terdapat pelanggaran etik oleh salah seorang hakim yang ikut memutus perkara.
Uji formil yang diajukan pemohon Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar menggugat keabsahan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia peserta Pilpres karena terbukti ada pelanggaran etik dalam prosesnya. Putusan sidang etik Majelis Kehormatan MK atau MKMK menjadi landasan argumen tersebut.
Namun, Guntur berujar, temuan MKMK itu tidak membatalkan putusan yang sudah dikabulkan MK. "Hal tersebut tidak serta merta mengakibatkan putusan tersebut tidak sah dan batal," ucap dia.
Adapun dalam petitum Denny dan Zainal, keterlibatan mantan Ketua MK Anwar Usman dalam Putusan 90 juga dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasalnya, beleid itu mengatur bahwa hakim yang memiliki kepentingan langsung maupun tidak langsung dalam suatu perkara harus mengundurkan diri dari pemeriksaan.
Putusan 90 pun mereka anggap tak memenuhi syarat formil karena diikuti Anwar yang juga paman dari Gibran Rakabuming Raka. Diketahui, putusan tersebut membuka jalan bagi Gibran, yang belum berusia 40 tahun, untuk jadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. Gibran juga merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Akan tetapi, Guntur menyampaikan bahwa UU Kekuasaan Kehakiman tidak dapat diterapkan dalam hukum acara peradilan MK. Majelis hakim MK pun menolak gugatan uji formil yang diajukan kedua pakar hukum tata negara itu.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan. Suhartoyo menyatakan MK berkesimpulan bahwa pokok permohonan dari perkara nomor 145/PUU-XXI/2023 ini tidak beralasan menurut hukum.
Pilihan Editor: Eks Penyidik Minta KPK Telisik Temuan PPATK soal Aliran Dana ke 21 Bendahara Parpol