TEMPO.CO, Batam - Sejumlah warga Pulau Rempang, Batam terus menolak untuk direlokasi meskipun Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No 78 Tahun 2023 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional.
Meskipun Pepres itu disebut sebagai jaminan relokasi dan ganti rugi kepada masyarakat yang terdampak proyek strategis nasional (PSN), warga Rempang tetap menolak.
"Sekarang (warga) tetap pada pendirian, tetap menolak (relokasi), tidak ada lagi tawar menawar," kata Isaka salah seorang warga Rempang kepada awak media, Jumat, 22 Desember 2023..
Hal itu disampaikan Isaka bersama beberapa orang warga Rempang lainnya dalam acara media briefing Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang. Juga hadir dalam pertemuan itu Peradi Batam, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Pekanbaru dan YLHBI Jakarta.
Isaka menjelaskan, alasan penolakan tetap sama seperti diawal, bahwa tanah masyarakat Melayu di sana adalah tanah ulayat yang harus dijaga sampai kapan pun.
"Karena tanah Rempang adalah tanah ulayat masyarakat Melayu," kata Isaka.
Sebut pemerintah mau merebut tanah ulayat
Sekarang, menuru Isaka, pemerintahan Presiden Jokowi seolah mau merebut tanah ulayat itu dari masyarakat lokal yang sudah ratusan tahun berada di sana. Meskipun negara tidak mengakui tanah ulayat itu, Isaka menyatakan warga bisa membuktikannya.
"Kami juga tidak merebut tanah negara, kami akan mempertahankan tanah ulayat ini. Ini sudah harga mati. Apapun yang terjadi tetap menolak, menolak sudah harga mati, apapun peraturan yang turun, kami tetap menolak," kata Isaka.
Selain itu sampai saat ini pemerintah menyatakan, 70 persen tanah Rempang sudah jatuh ke tangan negara.
"Kalau dia langsung kelapangan, data itu palsu semua, sekarang BP Batam belum memiliki HPL sama sekali di Rempang," kata dia lagi.
Selanjutnya, warga mengaku tak punya tempat mengadu