Isaka juga mengatakan saat ini warga Pulau Rempang tidak tahu hendak mengadu kepada siapa. Pasalnya, perangkat Pemerintah Kota Batam juga ikut meminta mereka pindah dari kampung halaman mereka.
"Selanjutnya menyangkut dua kepemimpinan (Kepala BP Batam dan Walikota Batam) di Batam, dikasus Rempang ini dipihak investor tidak hanya Kepala BP Batam, tetapi juga Wlaikota Batam, " katanya.
Padahal, menurut dia, berdasarkan undang-undang, Wali Kota Batam harus berada di pihak masyarakat. Namun dalam prakteknya, Isaka menyatakan Wali Kota Batam Muhammad Rudi menggunakan jajarannya untuk mengintimidasi masyarakat selama ini.
"Ini yang kami sayangkan, warga tidak ada ruang untuk berlindung," ujar Isaka.
Ia juga memberikan tanggapan soal keluarnya Perpres 78 tahun 2023. Sampai saat ini kata Isaka warga asli Pulau Rempang belum mendapatkan sosialisasi langsung dari BP Batam.
"Memang kemarin ada sosialisasi di Swissbel Hotel, tetapi undangan sampai ke kami malam sebelum acara, mana bisa kami berangkat," kata dia. Tetapi menurut Isaka, apapun aturan yang akan turun, warga tetap pada pendirian menolak relokasi.
Anggota Bidang Advokasi YLBHI Nasional Edy Kurniawan mengatakan, pemerintah seharusnya mengakui tanah ulayat itu terlebih dahulu. Setelah itu baru, bicarakan soal relokasi dan ganti rugi. "Permasalahan bukan soal relokasi atau ganti rugi, tetapi ini tentang hak tanah ulayat warga lokal disana," katanya dikesempatan yang sama.
Perkembangan Rempang Eco-city
Sedangkan masalah kepemilikan lahan pembangunan PSN Rempang Eco-city sampai saat ini masih belum selesai. BP Batam dalam sosialisasi, Senin lalu, 18 Desember 2023, menyebutkan mereka masih menunggu penurunan status Hutan Produksi Konversi (HPK) menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL).