TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Suryo dikenal sebagai Gubernur Jawa Timur pertama dengan pidatonya yang mampu memberikan ketetapan hati serta tekad kepada para pejuang untuk melawan pihak sekutu di tanah Surabaya pada 10 November 1945. Simak profilnya berikut.
Profil Gubernur Suryo dan perannya
Gubernur Suryo lahir dengan nama Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo (biasa dikenal dengan nama Gubernur Soerjo), lahir di Magetan, 9 Juli 1895 dan meninggal di Ngawi, 10 September 1948 pada umur 53 tahun. Suryo merupakan anak kedua dari sepuluh bersaudara dari Raden Mas Wiryosumarto yang bertugas sebagai Ajun Jaksa di Magetan,dan Raden Ayu Kustiah. Gubernur Suryo merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia dan gubernur pertama Jawa Timur dari tahun 1945 hingga tahun 1948.
Iwan Lubis dalam artikelnya berjudul Biografi Gubernur Suryo, menceritakan Suryo memulai kariernya setelah lulus OSVIA atau Opleidings School Voor Inladsche Ambtenaren, yakni Sekolah Pendidikan Kepamongprajaan untuk pribumi/pemuda Indonesia pada masa Hindia-Belanda, pemuda Soerjo pernah juga mendapat kesempatan belajar Politie-School atau Sekolah Polisi di Sukabumi (Jawa Barat) dan pada Bestuursschool atau Bestuurs Academie atau Departemen Dalam Negeri di Batavia (Jakarta).
Setelahnya, Suryo bekerja pada kantor kontroller di Ngawi sebagai calon pegawai negeri lalu sebagai menteri Veldpolitie di Madiun. Setelah tamat dari sekolah polisi, Suryo diangkat menjadi camat. Tak lama, dirinya naik menjadi wedana di Pacitan dan dipindahkan ke Porong.
Pada tahun 1938, Suryo menjadi Bupati Magetan. Saat masa pemerintahannya, Suryo sangat memperhatikan rakyat, salah satunya melalui perbaikan jalan dan bendungan.
Puncak karirnya di dunia politik yakni saat kemerdekaan Indonesia, Suryo diangkat sebagai Gubernur Jawa Timur. Tak berselang lama, 25 Oktober 1945, Inggris mendarat di Surabaya di bawah Mallaby yang meminta agar Suryo datang ke kapal untuk berunding tetapi Suryo menolak, karena Inggris harus menghargai pemerintah Indonesia yang berdaulat, Inggris menuntut agar orang Indonesia yang memiliki senjata menyerahkannya kepada Inggris dan menyita mobil-mobil preman. Sore harinya para pemuda menyerang pos-pos pertahanan Inggris, Mallaby berjanji tidak akan melucuti pemuda, tetapi janji itu dilanggarnya sendiri.
Pada peperangan tersebut, para pemuda melawan dan pertempuran berlangsung sampai Mallaby tertembak mati. Lalu, tanggal 8 November 1945, Suryo menolak datang ke kantor Mansergh, karena dalam surat undangan tertulis Tuan RMTA Suryo tidak menyebut Gubernur Suryo.
Inggris harus menghormati pemerintah Indonesia, kemudian Inggris mengeluarkan ultimatum pada penduduk Surabaya agar segera menyerahkan senjata api selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pagi dengan ancaman akan menggerakkan kekuatan darat, laut dan udara untuk menguasai Surabaya.
Dilansir dari laman IKPNI, tanggal 9 November 1945 malam, Suryo berpidato di radio agar rakyat tetap tenang menunggu hasil perundingan Menlu Ahmad Subarjo dengan Inggris yang ternyata gagal. Akhirnya rakyat sepakat untuk menolak ultimatum Inggris, tanggal 10 November 1945 Surabaya diserang dari darat, laut dan udara. Suryo memindahkan pemerintahan Mojokerto kemudian ke Malang.
Sebelumnya, Suryo membuat perjanjian gencatan senjata dengan komandan pasukan Inggris Brigadir Jendral Mallaby di Surabaya pada tanggal 26 Oktober 1945. Namun tetap saja meletus pertempuran tiga hari di Surabaya 28-30 Oktober yang membuat Inggris terdesak. Presiden Sukarno memutuskan datang ke Surabaya untuk mendamaikan kedua pihak. Gencatan senjata yang disepakati tidak diketahui sepenuhnya oleh para pejuang pribumi. Akhirnya, terjadi kontak senjata yang menewaskan Mallaby.
Hal ini menyulut kemarahan pasukan Inggris. Komandan pasukan yang bernama Jenderal Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya supaya menyerahkan semua senjata paling tanggal 9 November 1945, atau keesokan harinya Surabaya akan dihancurkan.
Menanggapi ultimatum tersebut, Presiden Sukarno menyerahkan sepenuhnya keputusan di tangan pemerintah Jawa Timur, yaitu menolak atau menyerah. Gubernur Suryo dengan tegas berpidato di RRI bahwa Arek-Arek Suroboyo akan melawan ultimatum Inggris sampai darah penghabisan.
Kematian tragis Gubernur Suryo setelah kemerdekaan Indonesia
Pada Juni 1947, RM Suryo diangkat menjadi Wakil Ketua DPA di Yogyakarta, kemudian menjadi Ketua Dewan. Pada 1 November 1948, Suryo bermaksud menghadiri peringatan 40 hari meninggalnya adiknya yang dibunuh PKI di Madiun. Suryo berangkat dari Yogyakarta ke Madiun dan di tengah perjalanan di Desa Bogo, Ngawi, mobil Suryo berpapasan dengan sisa-sisa gerombolan PKI Madiun yang dipimpin Maladi Jusuf.
Mobil Suryo dihentikan dan dirinya ditahan. Ikut pula ditahan dua anggota Kepolisian RI yakni Komisaris Besar M. Doerjat dan Komisaris Soeroko yang pada saat bersamaan mobilnya tengah melewati kawasan tersebut. Setelah membakar mobil-mobil para tawanan, anggota pasukan Maladi Yusuf menggiring kelimanya ke Kampung Sundi di Desa Bangunrejo Lor (sekitar 5 kilometer dari tempat mereka dicegat).
Pagi hari pada 12 November 1948, dalam kondisi hanya memakai celana dalam dan mata tertutup secarik kain, pasukan Maladi membawa mereka ke tepi Kali Kakah di Dusun Ngandu, orang-orang Maladi Yusuf lantas menghabisi satu persatu kelima tawanan tersebut dengan cara memenggal kepala mereka.
Mereka disuruh turun dan dibawa ke Hutan Sonde.Empat hari kemudian, jenazah Suryo ditemukan oleh penduduk di sekitar Kali Kakah Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo Lor Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Masyarakat kemudian melapor, dan diteruskan hingga ke Bupati Madiun yang merupakan sepupu Suryo, Kusnendar. Dari Kusnendar, berita kematian Suryo menyebar dengan cepat.
Dilansir dari laman Cagar Budaya Jatim, Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo telah dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional pada 17 November 1964 atas Kepres No,294 Tahun 1964. Monumen Suryo pun dibangun di dukuh Pelanglor, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi.
MUTIARA ROUDHATUL JANNAH I NAUFAL RIDHWAN ALY I SDA
Pilihan Editor: Kematian Mengenaskan RM Suryo Gubernur Jawa Timur Pertama di Hutan Sonde Ngawi