TEMPO.CO, Jakarta - Konflik Rempang saat ini berlanjut dengan perkara yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi atau MK untuk selanjutnya diadili.
Seperti dilansir dari berkas laporan yang diperoleh dari laman Mkri.co.id, masyarakat Pulau Rempang yang diwakili oleh Gerakan Rakyat Selamatkan Rempang secara resmi melaporkan konflik Rempang dengan menggugat permohonan pengujian materiil Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pelaporan tersebut diwakili oleh Indra Anjani, warga Pulau Rempang yang dalam berkas tersebut disebut sebagai pemohon, selain itu Indra juga ditemani oleh Faris Muhammad Faza, Rahman, Fahrul Kurniawan, Marcellino Ananta Surya Timur, Muhammad Iqbal Kholidin, Syahrul Iswandi, Wahyu Wicaksono Djiwandono, yang semuanya merupakan bagian dari Tim Hukum Gerakan Rakyat Selamatkan Rempang.
Dalam berkas laporan permohonan uji materiil undang-undang yang diterima MK pada Ahad, 8 Oktober 2023, memuat beberapa poin landasan tuntutan uji materiil undang-undang tersebut. Lebih lanjut, dalam berkas tersebut, Indra Anjani juga menyebut bahwa pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 bertentangan dengan Pasal 24 ayat 1 UUD 1945, Pasal 28A UUD 1945, Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, Pasal 28H ayat 4 UUD 1945, dan Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945.
“Dengan ini mengajukan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum –selanjutnya disebut UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum– terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,” seperti dikutip dari berkas laporan Gerakan Rakyat Selamatkan Rempang.
Isi Undang-Undang
Diakses dari laman Peraturan.bpk.go.id, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 secara garis besar berisi mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum. Lebih lanjut, peraturan yang diresmikan pada 14 Januari 2012 di Jakarta tersebut berisi mengenai asas pengadaan tanah yang tertera dalam Pasal 2 Bab II berbunyi, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan berdasarkan asas:
- kemanusiaan;
- keadilan;
- kemanfaatan;
- kepastian;
- keterbukaan;
- kesepakatan;
- keikutsertaan;
- kesejahteraan;
- keberlanjutan; dan
- keselarasan.
Selain itu, pada Pasal 3 juga membahas mengenai tujuan dari Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, yakni bertujuan untuk pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Dengan kata lain, dalam pasal tersebut turut membahas mengenai ganti untung atau rugi yang ideal bagi pihak yang tanahnya dibutuhkan oleh negara.
Mengenai bentuk ideal pengadaan tanah, masih dilansir dari salinan berkas undang-undang yang diperoleh melalui laman Peraturan.bpk.go.id, pada Pasal 9 turut disebutkan bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
Selain itu, pengadaan tanah bagi kepentingan umum juga dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang bersifat layak dan adil bagi pihak yang terdampak.
Meskipun demikian, isi dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut menurut Gerakan Rakyat Selamatkan Rempang dinilai bertentangan dengan Pasal 28 J ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu isinya yang kontradiktif dan masih rawan bias adalah dalam undang-undang tersebut tidak mendefinisikan pengertian dari kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat, padahal dalam undang-undang tersebut, tepatnya pada Pasal 1 ayat 6 dan Pasal 10 telah membahas mengenai definisi dari kepentingan umum dan daftar kepentingan umum.
Pilihan Editor: Belum Rampung Soal Rempang, Persis Sebulan Aparat Bentrok dengan Warga Seruyan, Satu orang Tewas