TEMPO.CO, Jakarta - Belum rampung masalah bentrok aparat dengan warga di Pulau Rempang, Batam, pada 7 September lalu, kejadian serupa terjadi di Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah tepat sebulan setelahnya. Parahnya, seorang warga, Gijik, 35 tahun, tewas di tempat dan dua lainnya terluka berat diduga karena tertembak aparat pada Sabtu, 7 Oktober 2023.
Peristiwa itu terjadi ketika warga Bangkal melangsungkan aksi damai menuntut tanah plasma mereka dari PT Hamparan Masawit Bangun Persada I atau PT HMBP I, pada Sabtu, 7 Oktober 2023. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut perusahaan itu telah membuka bisnis perkebunan sawit di atas tanah warga sejak 2006. PT HMBP I ini merupakan anak perusahaan Best Group Agro International milik Tjajadi.
Adapun warga Bangkal, dan warga Terawan serta Tabiku telah melakukan aksi protes menuntut tanah plasma mereka itu sejak September lalu. Mereka melakukan blokade jalan di areal yang telah diklaim oleh perkebunan PT HMBP I tersebut. Aparat kepolisian bahkan sempat menembakkan gas air mata saat ibu-ibu dan warga Bangkal mendekati pabrik sawit, Sabtu, 16 September 2023.
Selanjutnya, warga melakukan pertemuan dengan pihak pemerintah dan perusahaan, pada Rabu, 3 Oktober 2023. Namun, PT HMBP I menolak tuntutan warga tersebut. Warga pun kembali turun pada Sabtu kemarin dan menyebabkan bentrok dengan aparat. KPA mencatat sedikitnya 20 orang warga mengalami kriminalisasi dan tiga orang tertembak. Dua di antaranya kritis serta satu orang tewas di tempat.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian menyebut insiden pada Sabtu di Seruyan itu merupakan bentrok terparah antara warga dan kepolisian. Hal itu, kata dia, dipicu oleh tindakan polisi menembakkan gas air mata dan peluru ke arah warga. Uli mengonfirmasi peluru yang ditembakkan polisi ke arah warga merupakan peluru tajam. Gijik meregang nyawa setelah sebutir peluru tajam menembus dadanya.
“Ada tiga yang tertembak. Satu meninggal, di dadanya kena peluru, tembus. Satu lagi kritis di rumah sakit. Satu lagi kami belum dapat informasi kondisinya seperti apa,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengungkapkan peristiwa Seruyan menandakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak berdaya mengubah pola-pola penanganan aparat di wilayah konflik agraria yang selalu menggunakan pendekatan represif dan intimidatif. KPA mencatat selama dua periode pemerintahan Jokowi, sudah ada 69 korban tewas di wilayah konflik agraria.
“Peristiwa yang terjadi di Seruyan ini semakin menambah daftar panjang korban tewas di wilayah konflik agraria,” kata Dewi.
Kilas Balik Kasus Bentrokan di Pulau Rempang
Kasus bentrok antara warga dan aparat juga terjadi 7 September lalu di Pulau Rempang Batam, tepat sebulan sebelum Tragedi Seruyan. Kejadian itu disebabkan oleh wacana pemerintah merombak wilayah tersebut menjadi The New Engine of Indonesia’s Economic Growth. Pemerintah lalu membuat proyek strategis nasional atau PSN bertajuk Rempang Eco City.
Namun rencana itu terhalang karena warga Pulau Rempang menolak dipindah. Masyarakat adat Pulau Rempang yang bertempat tinggal di 16 kampung tua menolak direlokasi ke Pulau Galang. Warga menilai kampung mereka memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Oleh karena itulah, mereka menolak wilayah tersebut dipindahkan.
Pada Kamis, 7 September 2023 sejumlah aparat gabungan TNI dan Polri memaksa masuk ke perkampungan warga. Kedatangan aparat tersebut guna memasang patok tanda batas lahan untuk proyek Rempang Eco City. Masyarakat adat menolak kedatangan aparat dan melakukan pemblokiran dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan.
Tetapi aparat bersikukuh merangsek masuk ke pemukiman warga. Dalam prosesnya, mereka bahkan menembakkan gas air mata untuk memukul mundur warga. Bahkan, semburan gas air mata tersebut sampai ke arah sekolah. Hal ini membuat para guru berlarian membawa murid-murid pergi melalui pintu belakang sekolah.
Polri menyatakan gas air mata terbawa angin hingga ke sekolah. Namun pernyataan Polri berbeda dengan temuan Komnas HAM. Pada Sabtu, 16 September lalu mereka mengumumkan menemukan selongsong peluru gas air mata di atap dan di dekat pekarangan SDN 024 Galang. Temuan itu sejalan dengan kesaksian seorang warga, Bobi.
Saat mengevakuasi warga, kata Bobi, tiba-tiba gas air mata ditembakkan ke sekolah. “Kondisi itu membuat anak-anak menangis dan berlarian,” kata Bobi.
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada Senin, 11 September 2023, ribuan masyarakat adat Melayu Kepulauan Riau menggeruduk kantor BP Batam. Mereka menyampaikan beberapa tuntutannya. Mulai dari menolak penggusuran, mendesak TNI dan Polri membubarkan posko yang didirikan di Rempang Galang, menghentikan intimidasi kepada orang Melayu, dan menuntut Jokowi membatalkan penggusuran kampung tua Pulau Galang.
Aksi tersebut sempat menyebabkan ricuh merusak kaca-kaca dan pagar kantor BP Batam. Massa membubarkan diri setelah ditembakkan gas air mata..Buntut dari aksi tersebut, sebanyak 43 orang warga Rempang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kericuhan saat demo penolakan pengembangan Kawasan Rempang Eco City yang terjadi pada 7 dan 11 September 2023.
“Sebanyak 26 ditetapkan sebagai tersangka di Polresta kasus tanggal 11 September, tambah delapan yang tanggal 7 September. Di Polda ada sembilan tersangka, jadi total 43,” ujar Kapolresta Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto di Batam, Kepulauan Riau, Jumat, 15 September 2023
Polri yang tumbuh dan berkembang dari rakyat, untuk rakyat, memang harus berinisiatif dan bertindak sebagai abdi sekaligus pelindung dan pengayom rakyat.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | YOGI EKA SAHPUTRA | HAN REVANDA PUTRA | LAILI IRA
Pilihan Editor: Menteri Bahlil Sambangi Pulau Rempang, Emak-emak Terus Suarakan Tolak Digusur Demi Rempang Eco City