Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Robert Wolter Monginsidi Gugur di Usia 24 Tahun, Teriakan Terakhirnya: Merdeka atau Mati

image-gnews
Wolter Monginsidi. Foto : Wikipedia
Wolter Monginsidi. Foto : Wikipedia
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 5 September 1949, Robert Wolter Monginsidi yang saat itu berusia 24 tahun berhadapan dengan regu tembak tentara Belanda di Panakukang, Ujung Pandang (sekarang Makassar). Ia ditembak dengan 8 peluru yang menerjang bagian tubuhnya. Sebelum peluru tersebut menerjang dadanya, dia berteriak, “Merdeka atau Mati”

Robert Wolter Monginsidi lahir di Kota Manado pada 14 Februari 1925. Dia bukan berasal dari keluarga kaya. Ayahnya bekerja sebagai petani kelapa. Meski demikian, ayah Wolter mempunyai tekad kuat untuk dapat memastikan anak-anaknya bisa menikmati pendidikan tinggi.

Anak muda yang memiliki nama panggilan Bote ini mengenyam pendidikan dasar di Hollands Inlandsche School (HIS). Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan menengah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Frater Don Bosco yang berada di Manado. 

Tepat pada 1942, suasana perang dunia kedua membuat pendidikan Wolter terhenti. Di masa pendudukan Jepang itu, ia belajar di sekolah guru bahasa Jepang di Tomohon pada masa pendudukan Jepang. Setelah menamatkan sekolah bahasa Jepangnya, Wolter mengajar bahasa Jepang di Liwutung Minahasa lalu pindah ke Luwuk, Sulawesi Tengah pada usia yang sangat muda, yakni 17 tahun. 

Awal 1946, Wolter dan teman-temannya di Makassar membentuk Laskar Harimau, gerakan perjuangan anak-anak muda di Republik Indonesia Daerah Sulawesi Selatan seperti Emmy Saelan, Maulwi Saelan, Abdullah, Sirajuddin, dan Lambert Supit.

Ia bersama dengan Maulwi Saelan dan kawan-kawannya memimpin Barisan Angkatan Muda Pleajar yang berani melawan pasukan Belanda. Bahkan, pada 17 Oktober 1945 di bawah koordinasinya, seluruh kekuatan pemuda pejuang di Ujung Pandang dipusatkan untuk mengadakan serangan umum.

Mereka merebut tempat-tempat strategi, bangunan-bangunan vital, dan gedung-gedung penting yang telah diduduki tentara Belanda. Mereka juga menyerbu Stasiun Pemancar Radio Makassar, Tangsi Belanda di Mariso, dan tempat-tempat lain milik Belanda.

Wolter juga sempat tergabung dalam pasukan Ronggeng Daeng Rono yang bermarkas di Plongbangkeng. Ia bertugas sebagai penyidik karena mahir berbahasa asing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada Januari-Februari 1947, tentara Belanda gencar mengincar dan mengunci pergerakan laskar itu. Dalam pertempuran yang terjadi pada 21 Januari 1947, Emmy Saelan yang merupakan kekasih Wolter telah gugur dalam pertempuran tersebut.

Gerakan Wolter Monginsisi dan kawan-kawan makin menjadi-jadi. Ia memasuki markas Polisi Militer Belanda dan menempel plakat berisi ancaman. Berkali-kali ia melakukan aksi dan langkahnya selalu berhasil. Hal itulah yang menjadikannya sebagai buronan dan terus dikejar Tentara Belanda. 

Berbagai usaha dilakukan oleh Belanda untuk melumpuhkan Robert Wolter Monginsidi. Akhirnya, pada 5 September 1949, pahlawan nasional itu gugur ditembak mati di daerah Pacinang, Wilayah Talo Kecamatan Panakukang. Ia ditembak tanpa penutup mata, dengan memegang kitab Injil di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya mengepal sambil berteriak “Merdeka atau Mati”.

Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November 1973. Ia pun mendapatkan penghargaan tertinggi negara Indonesia, Bintang Mahaputera (Adipradana), pada 10 November 1973. Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut.

ANGELINA TIARA PUSPITALOVA I  RISMA DAMAYANTI

Pilihan Editor: 14 Februari Kelahiran Wolter Monginsidi, Kisah Bote Asal Malalayang Manado

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Rekam Jejak Sultan Hamengkubuwono IX untuk Indonesia: Memilih Bersama NKRI

2 hari lalu

Sultan Hamengkubuwono IX setelah dinobatkan, 18 Maret 1940. Dok. Perpustakaan Nasional/ Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Rekam Jejak Sultan Hamengkubuwono IX untuk Indonesia: Memilih Bersama NKRI

Kontribusi Sultan Hamengkubuwono IX untuk Indonesia terekam dalam sejarah. Ia mendukung Sukarno-Hatta dengan segala daya upaya.


Scoot Tambah Frekuensi Penerbangan ke Chiang Mai, Balikpapan hingga Makassar

3 hari lalu

Scoot. Foto Istimewa
Scoot Tambah Frekuensi Penerbangan ke Chiang Mai, Balikpapan hingga Makassar

Scoot mengumumkan penyesuaian frekuensi penerbangan untuk mengantisipasi permintaan selama musim dingin di wilayah utara


Usulan Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto Tuai Protes dari Berbagai Pihak

4 hari lalu

Presiden ke-2 Soeharto. TEMPO/Gunawan Wicaksono
Usulan Pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto Tuai Protes dari Berbagai Pihak

Protes soal pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto disampaikan Amnesty Internasional Indonesia, parpor, hingga pelopor Aksi Kamisan.


Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ketahui Syaratnya Menurut Undang-Undang

4 hari lalu

Mantan Presiden Soeharto bersama anak-anak. Youtube.com
Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ketahui Syaratnya Menurut Undang-Undang

Aturan pemberian gelar pahlawan nasional tertuang dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009


Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Apa Tanggapan PDIP?

5 hari lalu

Presiden ke-2 Soeharto. TEMPO/Gunawan Wicaksono
Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Apa Tanggapan PDIP?

Politikus PDIP Guntur Romli menentang penyematan gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto.


Ketua MPR Bambang Soesatyo Sebut Soeharto Layak Dapat Gelar Pahlawan Nasional

7 hari lalu

Presiden ke-2 Soeharto. TEMPO/Gunawan Wicaksono
Ketua MPR Bambang Soesatyo Sebut Soeharto Layak Dapat Gelar Pahlawan Nasional

Dia mengatakan, jasa dan pengabdian Soeharto besar terhadap bangsa Indonesia.


Amnesty Kritik Ide Penyematan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

7 hari lalu

Mantan Presiden Soeharto bersama anak-anak. Youtube.com
Amnesty Kritik Ide Penyematan Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Usman mengingatkan kejahatan lingkungan, korupsi, dan pelanggaran HAM selama era Soeharto belum selesai dipertanggungjawabkan negara hingga kini.


MPR Cabut 3 TAP MPR Soal Sukarno, Soeharto, dan Gus Dur, Bagaimana Bunyinya?

8 hari lalu

Presiden Sukarno dan Soeharto
MPR Cabut 3 TAP MPR Soal Sukarno, Soeharto, dan Gus Dur, Bagaimana Bunyinya?

MPR cabut 3 TAP MPR terkait putusan perundang-undangan terhadap 3 mantan Presiden RI yaitu Ir Sukarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).


Alasan Fraksi PKB Minta TAP MPR Soal Pemberhentian Gus Dur Dicabut

11 hari lalu

Ketua Fraksi PKB MPR RI Jazilul Fawaid. ANTARA/HO-MPR
Alasan Fraksi PKB Minta TAP MPR Soal Pemberhentian Gus Dur Dicabut

Fraksi PKB mengatakan surat penegasan soal tak berlakunya TAP MPR Nomor II/MPR/2001 diperlukan untuk memulihkan nama baik Gus Dur.


Jejak Akhir RA Kartini, Wafat di Rembang dan Tempat Peristirahatan Terakhirnya

19 hari lalu

Para peziarah memadati makam Kartini, terlihat di sekitar makam terdapat foto profil Kartini.  Rembang, Jawa Tengah, 21 April 2015. TEMPO/Budi Purwanto
Jejak Akhir RA Kartini, Wafat di Rembang dan Tempat Peristirahatan Terakhirnya

RA Kartini lahir di Jepara dan meninggal dunia di Rembang Jawa Tengah. Kisah kematiannya dan dimakamkan di mana?