TEMPO.CO, Jakarta - Pada 5 September 1949, Robert Wolter Monginsidi yang saat itu berusia 24 tahun berhadapan dengan regu tembak tentara Belanda di Panakukang, Ujung Pandang (sekarang Makassar). Ia ditembak dengan 8 peluru yang menerjang bagian tubuhnya. Sebelum peluru tersebut menerjang dadanya, dia berteriak, “Merdeka atau Mati”
Robert Wolter Monginsidi lahir di Kota Manado pada 14 Februari 1925. Dia bukan berasal dari keluarga kaya. Ayahnya bekerja sebagai petani kelapa. Meski demikian, ayah Wolter mempunyai tekad kuat untuk dapat memastikan anak-anaknya bisa menikmati pendidikan tinggi.
Anak muda yang memiliki nama panggilan Bote ini mengenyam pendidikan dasar di Hollands Inlandsche School (HIS). Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan menengah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Frater Don Bosco yang berada di Manado.
Tepat pada 1942, suasana perang dunia kedua membuat pendidikan Wolter terhenti. Di masa pendudukan Jepang itu, ia belajar di sekolah guru bahasa Jepang di Tomohon pada masa pendudukan Jepang. Setelah menamatkan sekolah bahasa Jepangnya, Wolter mengajar bahasa Jepang di Liwutung Minahasa lalu pindah ke Luwuk, Sulawesi Tengah pada usia yang sangat muda, yakni 17 tahun.
Awal 1946, Wolter dan teman-temannya di Makassar membentuk Laskar Harimau, gerakan perjuangan anak-anak muda di Republik Indonesia Daerah Sulawesi Selatan seperti Emmy Saelan, Maulwi Saelan, Abdullah, Sirajuddin, dan Lambert Supit.
Ia bersama dengan Maulwi Saelan dan kawan-kawannya memimpin Barisan Angkatan Muda Pleajar yang berani melawan pasukan Belanda. Bahkan, pada 17 Oktober 1945 di bawah koordinasinya, seluruh kekuatan pemuda pejuang di Ujung Pandang dipusatkan untuk mengadakan serangan umum.
Mereka merebut tempat-tempat strategi, bangunan-bangunan vital, dan gedung-gedung penting yang telah diduduki tentara Belanda. Mereka juga menyerbu Stasiun Pemancar Radio Makassar, Tangsi Belanda di Mariso, dan tempat-tempat lain milik Belanda.
Wolter juga sempat tergabung dalam pasukan Ronggeng Daeng Rono yang bermarkas di Plongbangkeng. Ia bertugas sebagai penyidik karena mahir berbahasa asing.
Pada Januari-Februari 1947, tentara Belanda gencar mengincar dan mengunci pergerakan laskar itu. Dalam pertempuran yang terjadi pada 21 Januari 1947, Emmy Saelan yang merupakan kekasih Wolter telah gugur dalam pertempuran tersebut.
Gerakan Wolter Monginsisi dan kawan-kawan makin menjadi-jadi. Ia memasuki markas Polisi Militer Belanda dan menempel plakat berisi ancaman. Berkali-kali ia melakukan aksi dan langkahnya selalu berhasil. Hal itulah yang menjadikannya sebagai buronan dan terus dikejar Tentara Belanda.
Berbagai usaha dilakukan oleh Belanda untuk melumpuhkan Robert Wolter Monginsidi. Akhirnya, pada 5 September 1949, pahlawan nasional itu gugur ditembak mati di daerah Pacinang, Wilayah Talo Kecamatan Panakukang. Ia ditembak tanpa penutup mata, dengan memegang kitab Injil di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya mengepal sambil berteriak “Merdeka atau Mati”.
Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November 1973. Ia pun mendapatkan penghargaan tertinggi negara Indonesia, Bintang Mahaputera (Adipradana), pada 10 November 1973. Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut.
ANGELINA TIARA PUSPITALOVA I RISMA DAMAYANTI
Pilihan Editor: 14 Februari Kelahiran Wolter Monginsidi, Kisah Bote Asal Malalayang Manado