TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini adalah tanggal bersejarah. Diperingati sebagai tanggal kelahiran salah seorang pejuang kemerdekaan asal Sulawesi Selatan. Robert Wolter Monginsidi, adalah pemuda yang ikut andil dalam pembentukan Laskar Pemberontak Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada 17 Juli 1946, sekaligus menjabat sebagai Sekretaris Jenderal di sana.
Anak ketiga dari pasangan bernama Petrus Monginsidi dan Lina Suawa itu lahir di Malalayang, Manado pada 14 Februari 1925. Di lingkungan keluarga dan rekan-rekan akrabnya, ia biasa dipanggil Bote.
Keluarganya bukan orang kaya. Ayah Robert adalah seorang petani kelapa, namun memiliki harapan supaya anak-anaknya bersekolah tinggi. Robert mengenyam jenjang sekolah dasar di Hollands Inslanche School (HIS). Setelah tampat dari HIS ia melanjutkan pendidikan ke MULO, yaitu jenjang pendidikan setingkat SMP pada zaman Hindia Belanda.
Saat pendudukan Jepang, ia gemar belajar bahasa Jepang hingga diangkat sebagai guru kursus bahasa Jepang di usianya yang masih muda. Mula-mula ia mengajar di Liwutung (Minahasa) lalu dipindahkan ke Luwuk (Sulawesi Tengah). Kemudian memasuki Sekolah Menengah Pertama di Ujung Pandang.
Robert Wolter dikatakan pernah memiliki kedekatan dengan Emmy Saelan, anak perempuan sulung dari Amin Saelan, salah seorang pendiri Gerakan Pendidikan Indonesia Taman Siswa di Sulawesi Selatan. Namun keduanya tidak kunjung menikah lantaran terhalang cinta beda agama. Padahal, keduanya sudah memiliki kedekatan sejak duduk di bangku SMP hingga mereka bernaung di LAPRIS.
Robert Wolter terkenal sebagai sebagai pemuda yang cinta tanah air. Ia bersama dengan Maulwi Saelan dan kawan-kawannya memimpin Barisan Angkatan Muda Pleajar yang berani melawan pasukan Belanda. Bahkan, pada 17 Oktober 1945 di bawah koordinasinya, seluruh kekuatan pemuda pejuang di Ujung Pandang dipusatkan untuk mengadakan serangan umum.
Mereka merebut tempat-tempat strategi, bangunan-bangunan vital, dan gedung-gedung penting yang telah diduduki tentara Belanda. Mereka juga menyerbu Stasiun Pemancar Radio Makassar, Tangsi Belanda di Mariso, dan tempat-tempat lain milik Belanda.
Robert juga sempat tergabung dalam pasukan Ronggeng Daeng Rono yang bermarkas di Plongbangkeng. Ia bertugas sebagai penyidik karena mahir berbahasa asing.
Wajah Robert yang mirip dengan keturunan Indo-Belanda membuatnya sering memasuki kota Ujung Pandang seorang diri dan menyamar sebagai anggota tentara Belanda. Di tengah jalan ia menghentikan jeep tentara Belanda lalu ikut menumpang. Di tengah jalan, ia segera menodongkan pistolnya ke arah pengemuda dan merampas senjata serta mobilnya.
Bahkan, pada kesempatan lain, ia memasuki markas Polisi Militer Belanda dan menempel plakat berisi ancaman. Berkali-kali ia melakukan aksi dan langkahnya selalu berhasil. Hal itulah yang menjadikannya sebagai buronan dan terus dikejar Tentara Belanda.
Berbagai usaha dilakukan oleh Belanda untuk melumpuhkan Robert Wolter Monginsidi. Akhirnya, pada 5 September 1949, pahlawan nasional itu gugur ditembak mati di daerah Pacinang, Wilayah Talo Kecamatan Panakukang. Ia ditembak tanpa penutup mata, dengan memegang kitab Injil di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya mengepal sambil berteriak “Merdeka atau Mati”.
RISMA DAMAYANTI
Baca: Menteri Sosial Ziarah ke Makam Pahlawan di Sulawesi Selatan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.