Selain itu, polisi juga dinilai bisa menjerat pihak sekolah dengan Pasal 54 UU Perlindungan Anak. Sekolah, menurut Retno, bisa diminta pertanggung jawaban karena dinilai lalai dalam melindungi siswanya.
"Pasal tersebut mewajibkan pihak sekolah melindungi peserta didik selama berada di lingkungan sekolah dari segala bentuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, maupun peserta didik. Sekolah lalai dan gagal melindungi anak," kata dia.
Selain itu, FSGI juga menilai sekolah telah melanggar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
"Meskipun kejadian terjadi pada malam hari dan di ruang asrama, lingkungan tersebut tetap dianggap sebagai bagian dari sekolah," kata Retno.
Selanjutnya, dorong Pemda NTT untuk pulihkan kondisi korban
FSGI juga mendesak Dinas Kesehatan Provinsi NTT segera memulihkan kesehatan korban. Bahkan, menurut mereka, pemerintah daerah seharusnya menanggung seluruh biaya pengobatan anak tersebut.
Mereka juga meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (DP3A) Provinsi NTT untuk mendampingi korban selama pemeriksaan kepolisian dan juga memulihkan kondisi psikologis korban. Tak hanya korban, menurut mereka, Dinas DP3A Provinsi NTT juga harus melakukan assesmen psikologi dan psikososial ke peserta didik lain di sekolah berasrama tersebut.
"Karena ada dugaan juga mengalami kekerasan dalam bentuk yang lain saat proses pendidiplinan. Hal ini untuk pembenahan kedepannya dan melindungi peserta didik lain dari berbagai bentuk kekerasan atas nama mendidik dan mendisiplinkan. Karena dalam mendidik dan mendisiplinkan anak sejatinya tanpa kekerasan," kata Retno.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau Kementerian PPPA pada Mei lalu menyatakan bahwa terdapat 251 anak berusia 6-12 tahun menjadi kekerasan di sekolah selama periode Januari-April 2023. Sementara untuk kategori anak usia 13-17 tahun, terdapat 208 anak yang menjadi korban.