Lahir pada 5 Juli 1937 di Sinjai, Sulawesi Selatan, Rahman Tolleng datang ke Jawa Barat sebagai mahasiswa jurusan Apoteker di Institut Teknologi Bandung. Kuliahnya tak ia selesaikan karena memilih aktif di Gerakan Mahasiswa Sosialis yang dekat dengan Partai Sosialis Indonesia. Di awal 1960-an, Presiden Soekarno melarang partai yang dipimpin Sutan Sjahrir ini.
Rahman praktis harus bersembunyi memimpin organisasi itu. Tapi, secara diam-diam, ia memproduksi tulisan-tulisan yang menentang kesewenang-wenangan Soekarno, terutama ide Nasakom dan Dekrit 1959, yang disebutnya “akal-akalan Soekarno untuk melanggengkan kekuasaan”. Selain membuat pamflet dan tulisan, Rahman juga menggerakkan organisasi mahasiswa untuk menentang pemerintahan Orde Lama yang kian otoriter.
Puncaknya pada 1966. Memimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Bandung, Rahman salah satu tokoh di balik demonstrasi besar yang merambat ke pelbagai kota. Tahun itu tercatat dalam sejarah sebagai berakhirnya kekuasaan Soekarno dan beralih kepada Soeharto. Rahman pun tak lagi bersembunyi. Ia tampil dengan memimpin majalah Mahasiswa Indonesia, meski kadang masih memakai nama samaran Iwan Ramelan karena tetap kritis kepada penguasa baru.
Robert Hefner, ahli Indonesia yang menulis Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia, menyebut Rahman Tolleng sebagai seorang pemikir paling cemerlang dari generasi 66. Rahman ikut membidani Sekretariat Bersama Golongan Karya yang kelak menjelma Golkar. Tapi idenya menjadikan Golkar sebagai partai modern ditampik Soeharto. Presiden baru itu malah menjadikannya partai tunggal untuk kendaraan politiknya agar terus berkuasa.
Meski menjadi anggota DPR dari Golkar, Rahman tetap kritis kepada Soeharto. Ia bahkan dianggap berada di balik demonstrasi besar menentang kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada 1974. Kejadian pada 15 Januari yang dikenal sebagai Malari itu membuat Rahman ditahan tanpa pengadilan meski kemudian dibebaskan. Orde Baru juga membredel mingguan Mahasiswa Indonesia dan me-recall-nya dari DPR. Ia pun nyaris tersingkir dari panggung politik, dan lebih banyak aktif sebagai Direktur Utama PT Grafiti Pers—perusahaan percetakan yang menjadi bagian dari Tempo.
Pada akhir 1980-an, bersama Abdurrahman Wahid dan Marsillam Simanjuntak, ia mendirikan Forum Demokrasi. Perkumpulan para aktivis dan intelektual ini adalah wadah para aktivis pro demokrasi dan menjadi forum pengkritik utama Orde Baru. Rahman salah satu motor yang berada di balik demonstrasi mahasiswa menumbangkan Orde Baru. Kekuasaan Soeharto runtuh dan Abdurrahman Wahid naik menggantikannya setelah era transisi Presiden Habibie.
Gus Dur sempat menyebutnya layak menjadi Kepala Badan Intelijen Negara. Tapi pertentangan politik di lingkaran partai pendukung Gus Dur, yang belum sepenuhnya bersih dari organ Orde Baru, membuat Rahman tersingkir. Ia pun kembali jadi oposan. Dalam rapat-rapat opini di kantor Tempo di Jalan Proklamasi, Rahman kerap mengingatkan agar redaksi tetap mengkritik cara Gus Dur menjalankan pemerintahan. “Meski teman, jika keliru harus kita ingatkan,” katanya, selalu
Tiga tahun menjelang Pemilu 2014, bersama beberapa tokoh muda, Rahman melahirkan Partai Serikat Rakyat Independen (SRI). Ia cemas terhadap naiknya para oligarki yang memanfaatkan politik untuk menunggangi demokrasi. Dengan membuat partai, Rahman ingin mencari calon presiden yang menjalankan politik yang bebas dari cengkeraman segelintir orang. Tapi partai ini gagal memenuhi kuota untuk lolos ke pertarungan Pemilu.
Hingga pada awal tahun 2019, Rahman sakit yang mengakibatkannya harus menjalani cuci darah. Setelah sempat menjalani perawatan, Rahman wafat di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta, pada 29 Januari 2019 di usia 81 tahun.
M JULNIS FIRMANSYAH
Pilihan Editor: Mengenang Rahman Tolleng, Aktivis Demokrasi dan Politisi Idealis