Dalam draft RUU Pasal 47 point 2 membuka ruang kembalinya Dwi fungsi ABRI seperti yang pernah dipraktikan di era rezim otoritarian Orde Baru. Di mana TNI dapat dengan menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian, lembaga negara, DPR, kepala daerah dan lainnya.
"Revisi UU TNI dapat membuka ruang baru bagi TNI untuk berpolitik. Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara," katanya.
Menurut Al Araf dengan latar belakang pendidikan militer dilatih dan dipersiapan untuk perang. Militer tidak didesain untuk menduduki jabatan-jabatan sipil. Penempatan yang tidak tepat ini kata Al Araf, bukan hanya salah tapi melemahkan profesionalisme TNI.
"Fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkannya dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan merupakan kompetensinya" katanya.
Al Araf menyebut adanya upaya perluasan ruang bagi perwira TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil tidak lebih sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru. Saat ini menurut Ombudmans RI ada sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Ada juga perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Penjabat Gubernur Provinsi Aceh.
"Oleh karena itu, kalangan elit politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan, semestinya menjaga dan bahkan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini, dan bukan sebaliknya malah mengabaikan sejarah dan secara perlahan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru," katanya.
Kelima kata Al Araf, memperkuat impunitas anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Dalam usulan perubahan Pasal 65 ayat 2 UU TNI menyatakan prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan hukum pidana umum, bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI tahun 1998.
"Penting dicatat, reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI," ucapnya.
Menurut Al Araf, kedua dasar hukum tersebut mengamanatkan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
"Sebagai bentuk implementasi prinsip equality before the law sebagai salah satu prinsip penting negara hukum, tapi juga untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas, termasuk mencegah impunitas terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum," katanya.
Lalu keenam kata Al Araf, adanya perubahan mekanisme anggaran pertahanan dan dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan (Menhan). Rencana revisi UU TNI kata Al Araf, meliputi perubahan anggaran TNI berasal dari APBN tidak terbatas anggaran pertahanan.
"Hal ini dapat dilihat pada usulan perubahan ketentuan Pasal 66 ayat 1 UU TNI dari yang sebelumnya menyatakan TNI dibiayai dari “anggaran pertahanan negara” yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menjadi “TNI dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”."katanya Al Araf.
Perubahan ini membuat TNI memiliki pos anggaran baru di luar anggaran pertahan. Risikonya kata Al Araf, terbukanya ruang anggaran non-budgeter yang dulu pernah dihapus, dan rawan terjadinya penyimpangan.
Tak hanya itu kata Al Araf, perubahan mekanisme terlihat dari dilangkahinya kewenangan Menteri Pertahanan dalam penyusunan anggaran. Hal ini terlihat dari perubahan klausul Pasal 67 yang sebelumnya menyatakan bahwa dalam hal pemenuhan anggaran TNI, Panglima TNI mengajukan kepada Menteri Pertahanan kemudian diubah menjadi mengajukan kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai APBN.
"Menhan tidak hanya sekedar dilangkahi kewenangannya, tapi juga menempatkan proses penyusunan anggaran TNI di luar kontrol pemerintah, dalam hal ini kementerian pertahanan, karena TNI dapat mengajukan sendiri dan langsung kepada Menteri Keuangan untuk dibiayai dalam APBN," ucap Al Araf.
Koalisi mendesak pemerintah untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI. Menurut koalisi revisi tidak urgen dilakukan saat ini. Juga, subtansi usulan perubahan juga membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan pemajuan HAM.
"Adalah lebih baik jika pemerintah saat ini memfokuskan pada penyelesaaian pekerjaan rumah reformasi TNI yang tertunda, seperti reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial (Koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI," ucapnya.
Pilihan Editor: Jokowi Tolak Usul Luhut Soal Penempatan Militer Aktif di Kementerian