TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah untuk meninjau ulang revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (revisi UU TNI). Menurut Koalisi, revisi tersebut merupakan kemunduran demokrasi, memicu kembalinya dwifungsi ABRI.
"Kami menandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini," dalam keterangan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Selasa, 9 Mei 2023.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan gabungan dari Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai upaya pemerintah merevisi UU TNI tidak memperkuat agenda reformasi TNI yang telah dijalankan sejak tahun 1998, justru sebaliknya, usulan perubahan jadi kemunduran reformasi TNI. Koalisi menyebut TNI seharusnya menjadi alat pertahanan negara yang profesional.
Centra Initiative, Al Araf, mengatakan dari draf perubahan UU TNI ada enam poin yang disoroti karena membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM.
Pertama kata Al Araf, terkait perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Dalam revisi UU TNI ini kata Al Araf, merupakan hal keliru.
Pasalnya kata Al Araf, militer adalah sebagai alat pertahanan negara yang dipersiapkan, dididik dan dilatih untuk perang.
"Membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai mereka sebagai ancaman keamanan negara," ujarnya.
Tak hanya itu, Al Araf menyebutkan TNI dijadikan sebagai alat keamanan negara berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. "Mengembalikan format dan fungsi militer seperti di masa rezim otoriter orde baru," ucapnya.
Kedua kata Al Araf, pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI.
"Menjadi berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan," kata Al Araf.
Hal ini, kata Al Araf, membuat TNI dapat menggerakkan operasi militer selain perang tanpa melalui keputusan presiden dengan dalih menghadapi masalah keamanan dalam negeri.
"Hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis," ucapnya.
Padahal kata Al Araf, kewenangan Presiden tersebut diatur dalam Pasal 10 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Hasil Amandemen. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Presiden juga sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata. Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2022 tentang Pertahanan Negara menegaskan Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan TNI.
"Jadi seharusnya tetap dipertahankan dan tidak boleh dicabut," tegas Al Araf.
Ketiga, adanya perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Ada 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya hanya 14 jenis OMPS TNI.
"Beberapa penambahan tersebut di antaranya tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung pembangunan nasional," ujarnya Al Araf.
Al Araf menyebutkan diperluasnya dan penambahan cakupan OMSP, mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah.
OMSP juga dipermudah, pasalnya ada usulan perubahan dalam pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah (PP), tidak lagi berdasarkan keputusan politik negara, termasuk dalam hal ini otoritas DPR.
"Jika usulan perubahan ini diadopsi, hal ini menjadi berbahaya karena menempatkan pengerahan dan penggunaan pasukan TNI dalam konteks OMSP tidak bisa dikontrol dan diawasi oleh DPR," ucapnya.
Al Araf mengatakan keempat, ada perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif.