TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo atau Jokowi memberikan grasi kepada terpidana mati kasus narkoba Merry Utami. Menurut ICJR, kebijakan ini merupakan grasi pertama yang Jokowi berikan untuk terpidana mati kasus narkotika.
"Ini adalah langkah penting yang diambil oleh Presiden Jokowi dalam perubahan kebijakan hukuman mati selama ini dan ICJR berharap hal yang sama akan diterapkan bagi terpidana mati lain, khususnya yang sudah lebih dari 10 tahun dalam masa tunggu terpidana mati," ujar peneliti ICJR Adhigama Budiman dalam keterangannya, Jumat, 14 April 2023.
Kuasa hukum Merry Utami menyampaikan grasi kepada kliennya diberikan Jokowi melalui Keputusan Presiden No. 1/G/2023. Kepres tersebut mengubah pidana mati Merry Utami menjadi pidana seumur hidup.
Menurut ICJR, Merry Utami merupakan korban perdagangan orang yang telah duduk dalam barisan tunggu terpidana mati lebih dari 20 tahun, sejak dijatuhi vonis oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Menurut kuasa hukum Merry Utami, grasi ini telah diajukan sejak 2016.
"ICJR mengapresiasi LBH Masyarakat sebagai pendamping Merry Utami serta berbagai pihak yang menaruh kepedulian atas kasus ini. ICJR juga mengapresiasi Presiden Joko Widodo, untuk mengambil langkah baru mengenai penanganan terpidana mati, utamanya kasus narkotika," kata Budiman.
Lebih lanjut, ia menyebut penegakan hukum terhadap kasus narkotika justru sering menjerat orang-orang yang rentan, termasuk korban perdagangan orang. Kasus seperti Merry Utami, kata Budiman, juga terjadi di kasus lainnya dengan adanya dimensi eksploitasi dan kekerasan berbasis gender.
Menurut data ICJR, per Maret 2023 terdapat 101 orang yang ada dalam masa deret tunggu terpidana mati di Indonesia. Padahal, Indonesia telah mengesahkan UU Nomor 1 tahun 2023 tentang KUHP baru yang memperkenalkan mekanisme masa percobaan bagi terpidana mati selama 10 tahun.
Budiman mengatakan grasi presiden menandakan adanya langkah untuk memperbarui politik hukum pidana mati di Indonesia yang juga selaras dengan KUHP baru serta komitmen Universal Periodic Review Ke-4 Indonesia di tahun 2022. Penyegeraan peniliaian terpidana mati yang sudah dalam deret tunggu paling tidak untuk 101 terpidana mati yang sudah lebih dari 10 tahun menunggu eksekusi harus dilakukan, untuk menjadi subjek pengubahan hukuman sebagai persiapan implementasi KUHP baru.
Pilihan Editor: Jangan Bingung, Ini Perbedaan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi