Sementara apabila KPU tetap melaksanakan penyelenggaraan pemilu, terdapat konsekuensi ancaman hukum yang sedang menanti. Pihak lain dapat saja menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad) in casu tidak melaksanakan Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.
Maka sebenarnya saat ini, Viktor menilai KPU menjadi berada dalam posisi yang dilematis dan lemah secara hukum dalam menyelenggarakan pemilu. Sehingga situasi ini dapat menjadi dasar untuk dilakukannya pemilu susulan dan/atau pemilu lanjutan karena dianggap memenuhi syarat masuk dalam bentuk gangguan lainnya.
Artinya, Viktor menilai frasa gangguan lainnya ini dapat menjadi pintu masuk terhadap peristiwa apapun yang terjadi yang dapat dimaknai sebagai gangguan lainnya dan menjadi dasar dilakukannya pemilu susulan atau pemilu lanjutan sebagaimana diatur dalam Pasal 431 dan Pasal 432 UU Pemilu.
Maka frasa gangguan lainnya dinilai telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan penyelenggaraan pemilu menjadi tertunda. Padahal konstitusi telah mengatur dan menjamin bahwa pemilu dilakukan setiap 5 tahun sekali.
"Hal ini tentunya tidak sesuai dengan semangat serta prinsip negara hukum. Artinya frasa gangguan lainnya bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3, Pasal 28D ayat 1 dan Pasal 22E ayat 1 UUD 1945," kata Viktor.
Tempo menghubungi juru bicara MK Fajar Laksono untuk mengkonfirmasi soal registrasi perkara ini, dan kapan sidang akan dijawalkan. Hingga berita ini ditulis, Fajar belum memberikan tanggapan.
Pilihan Editor: Frasa Gangguan Lainnya di UU Pemilu Digugat ke Mahkamah Konstitusi