TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengungkapkan sejumlah persoalan prosedural dalam rancangan perubahan keempat Undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi atau revisi UU MK yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR pada Senin lalu, 13 Mei 2024.
Hal ini diungkapkan oleh PSHK dalam keterangan resmi yang diunggah di laman mereka. Dalam keterangan tersebut, pusat studi ini menemukan lima masalah prosedural.
Pertama, perencanaan perubahan keempat UU MK tidak terdaftar dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional alias Prolegnas 2020-2024. Revisi beleid ini juga tidak terdaftar dalam Prolegnas Prioritas 2024 atau dalam daftar kumulatif terbuka tahun 2024.
"Kedua, pembahasan pada pembicaraan tingkat I dilakukan secara senyap, tertutup, dan tergesa-gesa," tulis PSHK, dikutip pada Kamis, 16 Mei 2024.
Seperti diketahui, DPR bersama Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah menggelar rapat Pembicaraan Tingkat I untuk revisi UU MK pada Senin lalu.
"Proses ini tidak melibatkan satu fraksi, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan terdapat sejumlah anggota Komisi III DPR yang tidak mengetahui adanya pembahasan perubahan keempat UU MK pada pembicaraan tingkat I," ujar PSHK.
Ketiga, pusat studi ini menilai, kanal partisipasi publik ditutup dan dokumen rancangan undang-undang tidak dapat diakses. Pokok-pokok pembahasan perubahan keempat UU MK juga tidak dipublikasikan secara luas, bahkan draf rancangan undang-undang dan naskah akademik tidak dapat diakses di kanal resmi DPR maupun pemerintah.
"Keempat, pembahasan memanfaatkan masa lame duck (bebek lumpuh) atau masa transisi menuju pemerintahan periode baru untuk segera mengesahkan perubahan keempat UU MK," tulis PSHK.
Menurut pusat studi ini, keputusan ketatanegaraan yang bersifat signifikan tidak seharusnya diambil di masa bebek lumpuh. Sebab, berpotensi menimbulkan persoalan legitimasi keputusan.
Kelima, pembahasan revisi UU MK dilakukan di masa reses, bukan di masa sidang. Seperti diketahui, hari di mana terjadi rapat pembahasan Tingkat 1 adalah hari terakhir reses DPR.
"Seharusnya, DPR fokus untuk menyerap aspirasi konstituen pada masa tersebut, bukan kebut-kebutan membahas undang-undang yang krusial bagi masa depan kekuasaan kehakiman," tulis PSHK.
Pilihan Editor: Ridwan Kamil Diberi 2 Surat Tugas Maju di Pilkada 2024, Airlangga: Dia Menjanjikan