Sehingga yang bersangkutan mesti mengajukan secara internal terlebih dahulu kepada gereja untuk dipertimbangkan, karena tempat doa tidak pernah sifatnya itu privat. Kalau sudah menjadi tempat alias sasana doa dan melibatkan dua sampai tiga orang, kata Yudono, maka sifatnya sudah publik.
Sehingga, harus ada persetujuan dari ordinaris wilayah seperti romo paroki. Bila tingkatannya lebih luas baru ke kevikepan, lalu berjenjang sampai ke tingkat lebih luas lagi yang bisa melibatkan keuskupan. Di tingkat nasional yaitu konferensi wali gereja, dan internasional dari Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik di dunia.
Bila urusan di internal gereja tuntas, kata Yudono, barulah kemudian mengurus izin ke penguasa wilayah seperti RT/RW, lurah, dan seterusnya. Porsedur ini, kata dia, karena tempat ibadah yang dibangun berkaitan dengan masyarakat Indonesia yang beragam. "Itu pun belum tentu akan disetujui," kata Yudono.
Sebab dalam semua proses ini tentunya akan ada proses verifikasi dan pengecekan. Pembangunan tempat ibadah ini tidak bisa serta merta hanya karena sudah ada material bangunannya. "Kalau mau di keluarga masing-masing, ya di dalam silahkan, tidak kemudian ekspos ke luar," ujar Yudono.
Dalam kejadian di rumah doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus, ada informasi di pemberitaan bahwa pengelola sudah ingin mengajukan izin pada 5 Februari lalu untuk meminta diberkati oleh Uskup Agung Semarang. Akan tetapi, urung terjadi sampai akhirnya patung ditutup terpal oleh pemiliknya sendiri pada 22 Maret 2023.
Merespons hal ini, Yudono menjelaskan uskup pada para pelayan gereja di level tertentu, entah paroki atau wakilnya, pasti akan menanyakan ke pengelola apakah semua persyaratan yang diminta sudah dipenuhi. Baik sipil maupun gereja. "Sipil oke, gereja oke, pasti uskup akan memberkati," ujarnya.
Oleh sebab itu, uskup harus diberikan informasi yang benar dan tepat. Jangan sampai orang memberi informasi yang salah ke pada uskup, sehingga akhirnya salah langkah. Tapi karena memang belum ada pengajuan izin, kata Yudono, tentu uskup tidak akan memberkati.
Beberapa hari setelah kejadian penutupan patung Bunda Maria tersebut, Yudono mengatakan dirinya sampai sekarang belum mengetahui lagi perkembangan dari proses pengurusan izin rumah doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus tersebut. "Minimal saya belum tahu dari romo paroki bagaimana, tapi untuk saya, sampai saat ini belum ada pembicaraan," ujarnya.
Sebab dalam proses pengurusan izin tersebut, kata Yudono, romo paroki pun pasti akan berkoordinasi dengan dirinya bila memang uskup yang diminta memberkati. Paroki tentu akan berembuh dengan Kevikepan. "Karena untuk lebih lancar, termasuk juga nanti kan mendatangkan orang, masyarakat setempat juga harus dilibatkan," ujarnya.
Ketika sampai di Keuskupan, uskup pun tentu akan bertanya sekian kali soal legalitas dari pendirian tempat ibadah ini. Gereja, kata Yudono, sangatlah taat pada aturan. Dari urusan surat menyurat sampai kendaraan pelayan gereja, semua ada dokumen dan data-datanya. Bahkan, Yudono menyebut sejarah gereja-gereja pun ada arsipnya.
"Sehingga memalukan bila gereja kok tiba-tiba memberkati tanpa ada sesuatu yang sudah beres, pasti tidak sesuai dengan sifat asli gereja," ujar Yudono.
Atas kejadian ini, Yudono meminta masyarakat lebih cermat lagi dalam menelaah berita yang ada. Menurut dia, teks yang ada selalu akan disertai konteks. Jangan sampai masyarakat hanya melihat teks tanpa tahu konteksnya apa. Sehingga sebelum berbicara dan melontarkan pendapat ke publik, harus dicari referensi yang cukup. "Sehingga tidak menimbulkan kegaduhan," kata dia.
Masyarakat, kata dia, memang harus berpikir terlebih dahulu apa yang terjadi di balik sebuah peristiwa. Jangan sampai, kata Yudono, komentar yang disampaikan malah membuat gaduh dan tidak membuat teduh.
Selanjutnya, Yudono ajak menjaga keteduhan...