Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti juga berkomentar soal sikap Mahfud atas desakan agar Perpu Cipta Kerja ini dicabut. Ia melihat kata-kata "biar saja" yang disampaikan Mahfud merupakan respons dari seorang menteri yang notabene penyelenggara negara.
"Itulah mungkin budaya hukum yang ingin diperlihatkan oleh penguasa," kata Susi kepada Tempo.
Budaya hukum, kata dia, adalah persepsi penguasa terhadap hukum. Budaya hukum sangat ditentukan oleh nilai yang dianut. "Berhukum kok seperti ini?" ujar Susi heran.
Seperti Denny, Susi sepakat Perpu Cipta Kerja harus dicabut sesuai Pasa l22 UUD 1945 dan Pasal 52 UU PPP. Ia menegaskan tidak ada lagi celah hukum bagi pemerintah untuk menjustifikasi bahwa Perpu Cipta Kerja masih bisa dibahas di Masa Sidang IV.
Ia mengatakan penjelasan Pasal 52 yang menyebut persidangan yang berikut adalah persidangan pertama, merupakan penafsiran otentik dari pembuat undang-undang. Kalau pemerintah tidak mencabut dan DPR mendiamkan, kata Susi, artinya mereka undang-undang yang dibuat bersama.
"Bagaimana mungkin pembentuk undang-undang tidak mentaatI ketentuan yang dibuat sendiri?" kata dia. Susi tak sendirian. Menurut dia, suara yang sama untuk mencabut Perpu Cipta Kerja juga mencuat di kalangan pakar hukum tata negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS).
Kalaupun nanti pemerintah mencabut Perpu ini, dan menerbitkan Perpu baru agar bisa dibahas di Masa Sidang IV, Susi menyebut upaya ini juga diluar nalar. Perpu lahir karena ada kegentingan yang memaksa.
Maka, Perpu baru pengganti Perpu saat ini tidaklah memenuhi syarat konstitutif. "Kegentingan memaksa kan enggak bisa direncanakan," ujarnya.
Pilihan Editor: Komite Aksi Bersama Tuntut Pemerintah Cabut Perpu Cipta Kerja