TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya menyatakan secara personal, dirinya mendukung Pemilu 2024 digelar dengan mekanisme sistem proporsional terbuka. Menurut dia, sistem proporsional tertutup alias coblos gambar partai secara teoritis mengurangi hak langsung dari pemilih.
“Secara teoritis mengurangi hak langsung dari pemilih, karena pemilih nggak bisa memilih orang per orang di antara calon yang ada. Ini pendapat pribadi,” kata Yahya usai beraudiensi dengan Komisi Pemilihan Umum atau KPU di Kantor PBNU, Rabu, 4 Januari 2023.
Yahya menyebut PBNU belum menentukan sikap soal sistem Pemilu ini. Adapun ia menyerahkan kepada pihak yang terlibat ihwal urusan ini.
Baca juga: Ketum PBNU Gus Yahya Anggap Sistem Proporsional Tertutup Cuma soal Kesepakatan
“Secara umum, silakan disepakati antara para pemain yang terlibat dan terapkan berdasarkan kesepakatan,” ujarnya.
Adapun Muhammadiyah melalui Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan hasil Muktamar ke-48 tahun 2022 menghasilkan dua usulan ihwal sistem Pemilu 2024, yakni proporsional tertutup dan proporsional terbuka terbatas. Menurut dia, Muhammadiyah menilai sistem proporsional terbuka yang digunakan pada Pemilu sebelumnya perlu diganti.
Dia menjelaskan, penggunaan sistem proporsional tertutup menjadikan pemilih hanya memilih gambar partai politik. Sementara nomor urut calon legislatifnya ditentukan oleh partai. Nomor urut terkecil berhak mendapatkan kursi pertama di daerah pemilihan (dapil).
“Kami mengusulkan agar sistem proporsional terbuka ini diganti dengan dua opsi sistem, yaitu tertutup dan terbuka terbatas,” kata Abdul di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa, 3 Januari 2023.
Adapun sistem proporsional terbuka terbatas, kata dia, menjadikan pemilih bisa mencoblos lambang partai atau caleg. Jika caleg tersebut mendulang banyak suara, maka caleg bisa mendapatkan kursi di dapil seperti mekanisme proporsional terbuka.
Sementara itu, jika lambang partai yang lebih banyak dicoblos, maka pemenang pileg ditetapkan lewat nomor urut caleg seperti mekanisme proporsional tertutup.
“Dengan sistem proporsional terbatas itu, suara pemilih masih terakomodir dan masih ada peluang bagi caleg untuk terpilih meski tidak di nomor urut atas,” ujarnya.
Adapun sistem proporsional terbuka terbatas sebelumnya pernah diusulkan saat DPR merevisi Undang-Undang Pemilu pada 2017. Kendati demikian, usulan ini batal diakomodir.
Abdul menjelaskan, usulan Muhammadiyah ini dimaksudkan untuk mengurangi kanibalisme politik alias saling jegal-menjegal satu sama lain. Dia mengatakan hal ini berpotensi menimbulkan polarisasi politik.
Selain itu, usulan Muhammadiyah ditujukan agar money politics bisa berkurang. Pemilihan caleg berdasarkan popularitas, kata Abdul, juga bisa dikurangi jika menerapkan salah satu dari dua usulan tersebut.
Abdul mengatakan Muhammadiyah juga mengusulkan dua sistem itu agar parpol bersungguh-sungguh menyiapkan kadernya. Dampaknya, kata dia, produk legislasi akan lebih berkualitas.
“Dengan berbagai alasan itu, sebagai keputusan utama, kami mengusulkan sistemnya adalah proporsional terbuka terbatas atau tertutup,” kata Abdul.
Baca juga: PBNU Siap Sumbangkan Banser untuk Mengamankan Pemilu 2024