TEMPO.CO, Jakarta - Munculnya kembali nama Romahurmuziy dalam jajaran Majelis Pertimbangan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memantik reaksi sejumlah pihak. Banyak orang meragukan kredibilitas mantan napi korupsi tersebut.
Secara yuridis, bolehkah mantan napi korupsi terjun kembali ke politik?
Larangan partai politik menyertakan narapidana korupsi dalam pemilihan umum sebenarnya pernah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018.
Pasal 4 ayat (3) peraturan tersebut menyatakan bahwa partai politik dilarang menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Namun, Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 membatalkan ketentuan tersebut. Putusan tersebut diambil dengan tiga pertimbangan.
Pertama, Majelis Hakim Agung mempertimbangkan hak memilih dan dipilih sebagai anggota badan perwakilan adalah hak politik yang merupakan hak dasar yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua, tidak ada peraturan yang melarang mantan terpidana korupsi mencalonkan diri dalam ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf (g) Undang-Undang Pemilihan Umum.
Ketiga, peraturan semacam ini seharusnya dimuat dalam suatu undang-undang bukan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang demikian halnya PKPU Nomor 20 Tahun 2018.
Pada dasarnya, mantan terpidana korupsi boleh kembali bergiat dalam kegiatan politik praktis. Namun, masyarakat akan menilai kembali kepantasan sosok tersebut dalam mengemban tanggung jawab.
HAN REVANDA PUTRA
Baca juga: Tak Hanya Romahurmuziy, Ini Sederet Nama Eks Narapidana yang Kembali Berkiprah di Parpol