TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu mengatakan sepanjang tahun 2022, tanda-tanda demokrasi Indonesia keluar dari relnya makin menguat, alih-alih mengalami perbaikan signifikan. Ia turut menyitir laporan indeks demokrasi dari Economist Intelligence Unit pada 2021 yang masih mengelompokkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang cacat.
“Pada 2021 EIU masih mengelompokkan Indonesia sebagai negara yang cacat demokrasi, berada di peringkat 52 dengan skor 6,71,” kata Syaikhu dalam pidato akhir tahun 2022, Jumat, 30 Desember 2022.
Dia menjelaskan, negara dengan kategori ini cenderung masih memiliki masalah fundamental, utamanya ihwal tindakan represi atas kebebasan berekspresi, adanya tekanan terhadap kebebasan pers, partisipasi politik yang lemah, serta kinerja pemerintahan yang belum optimal.
Syaikhu kemudian mencontohkan keputusan DPR dan pemerintah yang berkukuh mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kendati menuai banyak penolakan dari masyarakat. Menurut dia, KUHP baru ini masih memuat pasal-pasal berbahaya yang berpotensi mengancam kebebasan sipil.
“Kita baru saja menyaksikan DPR mengesahkan rancangan KUHP yang masih memuat pasal bermasalah, meski kritik dan penolakan dari masyarakat sangat massif. Pasal penghinaan presiden, pemerintah, maupun kekuasaan umum dan lembaga rawan menjadi pasal karet,” ujarnya.
Berpotensi lahirkan abuse of power
Menurut Syaikhu, pengesahan KUHP ini berpotensi melahirkan abuse of power dan membuka celah lahirnya negara yang represif serta otoriter. Dia mengatakan Fraksi PKS sedari awal telah berjuang hingga detik terakhir.
Dia mengingatkan pada rapat paripurna pengesahan rancangan KUHP, Fraksi PKS meminta pasal-pasal bermasalah dicabut. Namun, dia menyebut suara dan aspirasi publik itu dianggap sebagai angin lalu.
Syaikhu menilai rancangan KUHP juga minim partisipasi publik. Selain itu, Syaikhu juga mencontohkan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang pembahasannya dikebut, bahkan terkesan ugal-ugalan.
“UU Cipta Kerja, UU Penanggulangan Covid-19, sampai UU Ibu Kota Negara, semua dipaksakan. Disahkan DPR dan pemerintah meski mendapat penolakan yang luas dari masyarakat,” kata dia.
Isu penundaan pemilu bentuk kemunduran demokrasi
Di sisi lain, Syaikhu menyebut meruaknya isu soal penundaan Pemilu 2024 makin menunjukkan kemunduran demokrasi di Indonesia. Dia mengatakan partainya sedari awal menolak dengan tegas penundaan Pemilu karena jelas bertentangan dengan konstitusi.
Syaikhu menyebut esensi amandemen UUD 1945 dan amanat reformasi adalah adanya pembatasan kekuasaan. Khususnya, kata dia, bagi Presiden RI cukup 2 periode.
Bahkan, dia melanjutkan, Presiden Joko Widodo alias Jokowi pun sudah menegaskan penundaan Pemilu tidak akan terjadi. Oleh sebab itu, ia mengimbau seluruh pemimpin agar menolak isu penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
“PKS menyerukan pada seluruh pemimpin bangsa agar menolak penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden,” ujarnya.
Baca: PKS Ingin Pilpres 2024 Diikuti Minimal 3 Pasang Capres-Cawapres Demi Cegah Polarisasi