TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri akan memanggil perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), buntut pernyataan organisasi tersebut atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP baru. Sejumlah kekhawatiran disampaikan PBB dalam pernyataan terbarunya atas KUHP, yang mereka nilai tidak sesuai dengan kebebasan fundamental dan hak asasi manusia.
"Kementerian Luar Negeri benar akan panggil," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, saat dihubungi, Ahad, 11 Desember 2022.
Pernyataan PBB tersebut dirilis dalam laman resmi indonesia.un.org berjudul Statement on the new Indonesian Criminal Code. Kendati demikian, Faizasyah tidak merinci apakah pernyataan ini yang jadi dirujuk Kementerian Luar Negeri untuk memanggil perwakilan PBB.
"Mengenai kebenaran isi pernyataan tersebut, silahkan ditanyakan ke mereka (perwakilan PBB)," kata dia.
Dalam pernyataan ini, perwakilan PBB menyampaikan kekhawatirannya atas KUHP yang baru saja disahkan oleh DPR. PBB dalam pernyataan tersebut menyampaikan kekhawatirannya atas RKUHP, salah satunya karena beberapa pasal berpotensi mengkriminalisasi kerja jurnalistik dan melanggar kebebasan pers.
"Orang lain akan mendiskriminasi, atau memiliki dampak diskriminatif pada, perempuan, anak perempuan, anak laki-laki dan minoritas seksual, dan memperburuk kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender," kata PBB dalam pernyataan yang dirilis 8 Desember tersebut.
Pasal lainnya berisiko "melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan dapat melegitimasi sikap sosial negatif terhadap anggota agama atau kepercayaan minoritas dan mengarah pada tindakan kekerasan terhadap mereka".
Lantas, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengkritisi pernyataan PBB tersebut. Dia menilai, ada tiga masalah dalam pernyatan tersebut. Pertama, pernyataan resmi PBB hanya boleh dikeluarkan orang organ-organ utama mereka.
“Seperti Dewan Keamanan, Majelis Umum, Dewan HAM, Sekjen PBB, dan organ-organ tambahan. Sama sekali bukan suara dari pejabat Perwakilan PBB di Indonesia,” kata Hikmahanto dalam keterangan tertulis, Jumat, 9 Desember 2022.
Dia tak yakin pernyataan terkait KUHP merupakan pandangan resmi dari organ-organ utama atau tambahan PBB. Kedua, Hikmahanto juga meragukan pernyataan itu sudah melalui kajian dari organ utama dan tambahan PBB.
“Seperti misalnya ada special rapporteur [pelapor khusus] yang mendapat mandat dari Organ Utama,” ujar pria yang juga Rektor Universitas Jenderal A. Yani itu.
Ketiga, Hikmahanto mengungkapkan pernyataan terkait KUHP baru itu juga bertentangan dengan Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB, yang mengatur bahwa PBB tak punya kewenangan campur tangan dalam masalah yurisdiksi domestik setiap negara.
Oleh sebab itu, dia menyarankan Kementerian Luar Negeri memanggil Kepala Perwakilan PBB di Indonesia untuk dimintai keterangannya. Bahkan, bila perlu, dia diusir dari Indonesia.
“Jangan sampai individu yang menduduki jabatan di Perwakilan PBB Indonesia yang sebenarnya petualang politik mencederai ketentuan-ketentuan yang ada dalam Piagam PBB,” kata Hikmahanto.
Baca juga: Beragam Kekhawatiran Setelah UU KUHP Baru Disahkan