Selain itu, ORI menilai BPOM juga melakukan maladministrasi karena tidak secara ketat melakukan pengawasan ketat terhadap obat-obatan yang diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut. Menurut Robert, BPOM seharusnya bisa mencegah masalah ini muncul jika melakukan pengawasan ketat pada proses sebelum obat didistribusikan dan setelah obat berada di pasaran.
"Kami melihat bahwa kelalaian yang terjadi pada Badan POM itu terlihat pada pengawasan baik pada pre market atau proses sebelum obat distribusikan atau diedarkan dan post market control ini terkait dengan pengawasan setelah produk itu beredar," ucap Robert
Rekomendasi ORI
Atas dugaan maladministrasi tersebut, Ombudsman memberi masukan untuk melakukan rangkaian menindaklanjuti kasus ini. Pertama, Robert meminta Kementrian Kesehatan RI dan BPOM RI untuk membenahi ketersediaan dan akurasi data ini. Kemudian melakukan keterbukaan informasi.
"Publik berhak untuk mengetahui informasi kesehatan yang valid dan terpercaya," ujar Robert.
Ketiga, ia juga meminta agar pemerintah untuk memenuhi standar layanan publik yang ada. Termasuk memperhatikan batas atau ambang batas dari kandungan senyawa berbahaya. Robert menambahkan, BPOM juga harus melakuan pengawasan yang sangat ketat terhadap peredaran obat pada pre market dan post market. Kelima, ketersediaan akses layanan pengaduan dari masyarakat.
"Adanya sanksi yang keras terhadap perusahaan farmasi yang memproduksi dan mengedarkan produk-produk yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai produk yang sementara ini dicabut atau ditahan untuk tidak kemudian diedarkan pada masyarakat," kata Robert.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada Senin kemarin menyatakan bahwa pihaknya bisa memastikan peningkatan kasus gagal ginjal akut pada anak terjadi akibat konsumsi obat sirup yang mengandung Etilen Glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), dan Etilen Glikol Eter Butil (EGEB). BPOM sebelumnya telah mengidentifikasi 5 obat sirup yang memiliki kandungan berbahaya itu dan memerintahkan untuk menariknya dari peredaran.