TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga 4 korban tewas kasus Paniai disebut menolak terlibat dalam proses persidangan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 menyatakan keluarga korban ragu persidangan kasus ini akan membawa keadilan.
“Dalam pernyataan sikapnya, keluarga korban 4 anak yang tewas dan 17 korban luka-luka secara tegas menyatakan menolak terlibat dalam setiap proses persidangan,” kata perwakilan koalisi, Direktur Elsham Papua, Matheus Adadikam lewat keterangan tertulis, Rabu, 21 September 2022.
Matheus mengatakan sikap keluarga itu muncul sebagai akumulasi rasa kecewa atas penanganan kasus. Menurut dia, keluarga korban sudah aktif menyampaikan alat bukti dan kesaksian. Pihak keluarga, kata dia, kecewa karena pengadilan dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar, bukan di Papua.
“Keengganan negara membentuk pengadilan HAM di Papua menunjukkan mereka tidak serius menyelesaikan kasus ini,” kata dia.
Satu Terdakwa
Matheus mengatakan dakwaan yang dibuat kejaksaan juga hanya mengungkap peran satu terdakwa. Menurut keluarga, kata dia, hal itu menunjukkan kejaksaan tidak mau mengusut tuntas kasus ini dengan menyeret aktor lainnya. “Bisa jadi terdakwa IS hanya kambing hitam,” ujar Matheus.
Menurut dia, koalisi pun khawatir bahwa pengadilan ini hanya trik pemerintah Presiden Joko Widodo untuk mencitrakan bahwa dirinya telah menyelesaikan masalah HAM. Padahal, kata dia, masih banyak janji Jokowi dalam penuntasan pelanggaran HAM yang belum terpenuhi.
“Berdasar pada buruknya modalitas dari proses penyidikan kemudian membuat publik, juga para penyintas dan keluarga korban bertanya-tanya mampukah pengadilan memberikan rasa keadilan,” kata dia.
Digelar di Makassar
Sidang pembacaan dakwaan kasus pelanggaran HAM berat Paniai baru saja digelar di PN Makassar pada Rabu, 21 September 2022. Dalam sidang tersebut, Mayor Infanteri Purnawirawan Isak Sattu duduk menjadi terdakwa.
Menurut jaksa, Isak Sattu sebagai Perwira Penghubung Perwira Penghubung Kodim 1705/Paniai saat itu seharusnya memiliki kewenangan untuk mencegah bawahannya melakukan penembakan dan kekerasan yang menyebabkan korban sipil tewas. Jaksa mendakwa Isak melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
Pasal 42 ayat (1) mengatur tentang komandan militer dapat dimintai tanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komandonya. Tindak pidana itu terjadi karena komandan militer tidak melakukan pengendalian secara patut. Bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu pembunuhan.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.