INFO NASIONAL -- Rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, khususnya pelabelan Biosphenol-A (BPA) pada air kemasan galon guna ulang sebetulnya hampir sama dengan pelabelan pada bungkus rokok yang justru lebih menohok, karena terdapat foto korban kankernya. Regulasi BPOM cenderung lebih moderat
karena hanya berupa stiker bertuliskan: “Berpotensi Mengandung BPA”.
“Sebenarnya wacana BPOM ini kan ingin membuat masyarakat Indonesia aman. Niat mulia ini patut kita
hargai,” kata Dr. Nugraha Edhi Suyatma, dosen dan peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center - Institut Pertanian Bogor (IPB) awal September lalu. Dia mengatakan bisa memahami regulasi BPOM.
Mengenai pasal revisi terkait regulasi BPOM, Nugraha mengatakan seharusnya semua pihak juga melihat pasal yang menyebutkan ada pengecualian, kalau nantinya tidak terdeteksi limit BPA pada galon
polikarbonat yang diperiksa. “Kalau nantinya memang tidak terdeteksi, karena deteksi limit pada kemasannya nanti hanya 0,01 mg.kg, maka seharusnya tidak perlu lagi mencantumkan label ‘Berpotensi Mengandung BPA’,” kata dia.
Rancangan regulasi pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang polikarbonat dilakukan pasca BPOM menyelenggarakan survei terhadap AMDK galon, baik di sarana produksi maupun peredaran. Survei lapangan dilakukan sepanjang 2021-2022.
Berdasar survei di lapangan itu, BPOM menemukan fakta bahwa 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj (bagian per juta). Selanjutnya, ditemukan fakta bahwa 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi sudah masuk kategori “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj.
Kemudian ditemukan fakta terdapat 5 persen sampel di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di
sarana peredaran yang sudah masuk kategori “berisiko terhadap kesehatan” sebab migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.
Menurut Nugraha, bahan kimia BPA saat ini hadir di mana-mana. BPA tidak hanya ditemukan dalam campuran plastik keras polikarbonat, tapi marak pula di dalam kemasan kaleng, botol bayi atau dot yang
mestinya dilarang total peruntukannya pada bayi dan anak-anak.
“Berdasarkan riset, hampir 90 persen enamel pada makanan kaleng terbuat dari bahan kimia epoksi yang merupakan bahan baku dari campuran BPA dan epichlorohydrin,” kata Nugraha. Pernyataannya tentang bahaya BPA di luar AMDK galon polikarbonat ini sejalan dengan peringatan yang pernah disampaikannya melalui media massa sebelumnya. “Risiko migrasi BPA yang paling tinggi juga ada pada makanan dan minuman kaleng,” katanya. (*)