TEMPO Interaktif, Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menilai industri rokok paling banyak melanggar hak-hak buruh. Industri ini juga banyak dilanda aksi unjuk rasa buruh. "Ini mengindikasikan pemenuhan hak pekerja buruk. Cuma jarang diekspos," ungkap anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi, Selasa (24/2).
Buruh di industri rokok, ungkap Tulus, rata-rata berstatus kontrak. Anehnya, pemiliknya perusahaan masuk orang terkaya di Indonesia seperti Gudang Garam, HM Sampoerna dan Djarum. Yang membuat Tulus makin heran, langkah Asosiasi Petani Tembakau berencana menggagalkan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Tembakau pada Musyawarah Nasional di Temanggung Maret mendatang. Padahal petani justru dirugikan industri rokok yang memonopoli pembelian tembakau.
Kajian Lembaga Demografi Universitas Indonesia pada 2006 lalu menunjukkan upah buruh tembakau tak sampai separuhnya dari rata-rata upah nasional. Peneliti Lembaga Demografi Abdillah Ahsan menyatakan upah ini tidak layak karena dengan lama bekerja rata-rata 16,82 tahun dan 7 jam per hari upahnya hanya Rp 15.900 per hari.
Pemerintah, kata Abdillah, seharusnya bisa mengintervensi petani tembakau. Posisi tawar petani sangat rendah dibandingkan industri rokok. Harga tembakau ditetapkan pembeli tanpa pemberitahuan standar yang digunakan. Rata-rata upahnya berdasar data Badan Pusat Statistik (2005) ternyata terendah setelah tanaman coklat. Abdillah juga menemukan dengan mayoritas pendidikan SD (69 persen), hampir separuhnya berumah dengan lantai tanah (58 persen).
Jika pemerintah bersedia intervensi, Abdillah menyarankan, dilakukan pada tiga propinsi penghasil tembakau terbesar. Provinsi itu menguasai 89 persen tembakau antara lain Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Badan Kesehatan Dunia dalam penelitiannya di Banjarnegara tahun lalu melihat kesulitan peralihan petani tembakau. Alasan utamanya ada tidak perlu modal awal dan komoditasnya selalu dibeli pengepul tembakau.
DIANING SARI