TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum Papua atau LBH Papua meminta pemerintah untuk membatalkan rencana pemekaran Provinsi Papua. "Sebab perumusan rancangan undang-undang pemekaran Provinsi Papua dilakukan tanpa mengakomodir aspirasi masyarakat Papua," ujar Ketua LBH Papua Emanuel Gobay kepada Tempo pada Ahad, 17 April 2022.
Pada 12 April lalu, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyetujui tiga rancangan undang-undang daerah otonomi baru untuk Papua. Tiga rancangan beleid itu adalah rancangan undang-undang untuk pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah. Jika rancangan tersebut diketok menjadi undang-undang maka Provinsi Papua akan terbagi menjadi empat provinsi.
Menurut Emanuel, perumusan tiga rancangan undang-undang otonomi baru Papua yang saat ini sedang digodok di Senayan dilakukan hanya berdasarkan inisiatif anggota DPR saja dan mengabaikan aspirasi masyarakat Papua. "Serta tidak berkoordinasi dengan Majelis Rakyat Papua dan Dewan Pertimbangan Rakyat Papua," ujarnya.
Sejak rancangan undang-undang itu dibahas DPR, serangkaian aksi penolakan pemekaran wilayah terjadi di sejumlah daerah di Papua. Mulai di Jayapura pada 8 Maret dan selanjutnya secara beruntun terjadi di Wamena, Paniai, Yahukimo, dan Nabire. Pada 1 April terjadi demonstrasi serentak di sejumlah kota. Antara lain Jayapura, Mimika, Sorong, Kaimana, Malang, Denpasar, dan Yogyakarta.
Sebagian besar aksi warga Papua dalam menyampaikan pendapat itu mendapat perlakuan represif dari aparat keamanan. Sejumlah demonstran ditangkap di Wamena dan Nabire. Bahkan demonstrasi di Yahukimo pada 15 Maret bahkan berlangsung ricuh yang menyebabkan dua orang warga meninggal karena tertembak. "Kami menyayangkan sikap represif aparat keamanan," ujar Emanuel.
Emanuel berharap pemerintah pusat mendengarkan aspirasi warga Papua. Demikian juga Panja dan Baleg DPR RI mesti menghargai dan menerima aspirasi penolakan rancangan undang-undang daerah otonomi baru Papua tersebut. "Kami minta Ketua DPR RI segera perintahkan Panja batalkan pembahasan pemekaran Provinsi Papua," ujarnya.
Akademisi Universitas Papua Agus Irianto Sumule mengatakan bahwa saat ini sebagian besar masyarakat Papua belum siap dengan pemekaran. Jika pemerintah pusat memaksakan pemekaran Provinsi Papua akan berpotensi menimbulkan banyak persoalan. "Terutama pada orang asli Papua, mereka akan semakin terpinggir," kata Agus.
Menurut Agus, pembuatan provinsi baru memang akan membuka banyak posisi jabatan baru. Persoalannya, saat ini jumlah orang asli Papua yang memiliki tingkat pendidikan memadai belum banyak. Sehingga bisa dipastikan posisi tersebut akan lebih banyak diisi oleh pendatang. "Pemekaran berpotensi memicu meningkatnya arus migrasi ke Papua, akibatnya orang asli Papua bisa semakin terpinggir. Ini akan menimbulkan gejolak dan konflik baru," ujarnya.
Agus menyarankan pemerintah untuk lebih berfokus memperbaiki tata kelola pelayanan masyarakat di Papua daripada memaksakan pemekaran provinsi. "Perbaiki pelayanan publik dan pendidikan terutama bagi orang asli Papua supaya kesenjangan ekonomi dan pendidikan bisa ditekan," ujarnya.
AGUNG SEDAYU
Baca: Temui Mahfud Md, MRP Minta Pemekaran Wilayah Papua Ditunda