INFO NASIONAL - Berita pemalsuan tanda tangan JK (Jusuf Kalla) akhir-akhir ini mencuat ke publik dan berujung pada pemecatan Ketua Departemen Ekonomi DMI, Arief Rosyid. Diketahui, Arief memalsukan kop surat DMI, stempel dan tanda tangan JK selaku Ketua Umum DMI untuk mengundang Wakil Presiden Ma'ruf Amin menghadiri acara Festival Ramadhan serentak di seluruh Indonesia. Pemalsuan tanda tangan tersebut pun terkuak setelah pihak istana mengkonfirmasi undangan tersebut kepada JK.
Isu pencatutan nama dengan pemalsuan tanda tangan dan kop surat bukan kali ini saja terjadi. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan bahwa kasus penipuan dengan mencatut nama institusi KSP sudah sering terjadi. Hal ini diungkapkan setelah adanya kasus yang menimpa Tenaga Ahli Utama KSP, Ali Mochtar Ngabalin. Tanda tangan Ngabalin dipalsukan dalam surat permohonan sumbangan untuk santunan anak yatim-piatu kepada Walikota Cirebon senilai Rp 800 juta.
"Bukan hanya menimpa Ngabalin, tapi juga berapa saat yang lalu di antaranya ada yang mengatasnamakan dan pakai tanda tangan saya untuk mengundang seseorang," ujar Moeldoko di Kantor KSP, Jakarta Pusat, Selasa, 6 April 2022.
Pemalsuan tanda tangan jika dibawa ke ranah hukum, dapat terjerat Pasal 263 KUHP dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara. Namun, saat ini pihak JK mengkonfirmasi bahwa kasus ini masih belum akan dibawa ke ranah hukum. Sedangkan untuk Ngabalin, dikabarkan akan melaporkan kasus ini segera ke Bareskrim.
"Sejauh ini saya lihat belum ada sih perkembangan lebih jauh (untuk membawa ke ranah hukum), mungkin Pak JK masih mikir-mikir langkah-langkah secara personal maupun DMI sendiri," ujar Husain Abdullah, Penghubung Umum Pengurus Pusat DMI.
Validitas identitas, baik secara langsung/in-person atau secara digital di balik sebuah tandatangan memang kerap menjadi masalah dan memiliki potensi kriminal yang cukup tinggi. Terlebih di ranah digital, dengan kemajuan teknologi yang berevolusi menjadi semakin canggih hari demi hari.
Dari kasus pemalsuan tersebut kita jadi memahami betapa pentingnya proses verifikasi dan otentikasi agar berkas yang ditandatangani adalah benar dilakukan oleh pemilih dokumen tersebut. Di dunia yang saling terintegrasi seperti saat ini, metode konvensional untuk menandatangani dan memvalidasi dokumen semakin dibayangi oleh kemajuan teknologi. Untuk menyesuaikan kemajuan tersebut, segala yang berkaitan dengan penanganan dan otorisasi dokumen juga mengalami perkembangan, salah satunya adalah Tanda Tangan Elektronik (TTE).
TTE yang dimaksud bukanlah tanda tangan dengan metode menulis di atas kertas yang kemudian dipindai (scan) dan dijadikan berkas dalam format elektronik, tetapi tandatangan yang terdiri dari informasi elektronik terenkripsi berupa sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSrE).
Dalam kesempatan acara diskusi daring bertajuk "Manfaat Identitas Digital dan Tanda Tangan Elektronik Tersertifikasi di Indonesia" Jumat, 18 Maret 2022 lalu, Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menyatakan bahwa, proses sertifikasi oleh PSrE akan memverifikasi identitas pemberi tandatangan, lalu menerbitkan sertifikat elektronik untuk kemudian digunakan bagi keperluan tanda tangan dokumen dan identitas digital. “Kita sudah ada penyelenggaranya (PSrE), karena pertumbuhan transaksi digital sangat besar dan cepat,” ujar Semuel.
Lebih lanjut, Semuel memastikan bahwa kredibilitas dan integritas dari para PSrE juga terjaga dengan adanya audit berkala dari Kominfo. “Tiap tahun kami pastikan mereka (PSrE) menjalankan fungsi tugasnya sesuai aturan dan keamanan perlindungan data pribadi sehingga tidak boleh ada sedikit pun kesalahan, karena yang kita hadirkan adalah trust (kepercayaan). Di satu sisi, TTE yang Tidak Tersertifikasi akan membutuhkan pembuktian yang lama, dan memerlukan validasi dari banyak institusi.” ujar Semuel.
Dengan adanya kebijakan tersebut, Tanda Tangan Elektronik (TTE) tersertifikasi dapat menjadi solusi pemenuhan legalitas dokumen di era digital. Selain aman dan nyaman, TTE tersertifikasi juga memiliki kekuatan dan akibat hukum yang sama seperti halnya tanda tangan manual, selama memenuhi persyaratan seperti diatur dalam pasal 11 UU ITE.
Tanda tangan manual memiliki jaminan identitas penanda tangan, keutuhan konten dokumen, dan nirsangkal/ persetujuan penandatangan. Sama halnya dengan tanda tangan manual TTE yang juga memiliki jaminan hukum yang sama dengan diterbitkannya sertifikat elektronik oleh PSrE yang berfungsi sebagai verifikasi, autentikasi dan validasi atas TTE.
Jenis tanda tangan ini memiliki status validitas yang sama dengan tanda tangan tinta basah. Dengan kata lain, tanda tangan elektronik adalah tanda pembeda dalam bentuk elektronik yang memvalidasi dan memverifikasi dokumen, dengan cara yang sama seperti tanda tangan yang menggunakan pena dan kertas.
Berdasarkan Pasal 60 UU ITE, jenis TTE terbagi atas dua, yakni TTE tersertifikasi dan tidak tersertifikasi.
TTE Tersertifikasi:
- Dibuat menggunakan Sertifikat Elektronik (SrE);
- SrE dibuat oleh PSrE Indonesia yang mendapat pengakuan pemerintah (Kemkominfo);
- Memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah.
TTE Tidak Tersertifikasi:
- Menggunakan metode, teknik, atau proses apapun;
- Dibuat bukan oleh PSrE Indonesia;
- Tidak diperiksa pemenuhan standarnya.
Selain itu, salah satu keunggulan dari TTE tersertifikasi adalah kemampuan untuk mengecek integritas dari dokumen yang sudah ditandatangani. Segala bentuk perubahan yang dilakukan pada dokumen original setelah ditandatangani akan teridentifikasi. Hal ini akan mencegah terjadinya pemalsuan pada dokumen yang sudah dibubuhkan TTE tersertifikasi.
Meski penggunaan TTE tersertifikasi semakin meningkat dikarenakan adanya pembatasan fisik di masa pandemi, namun keunggulannya dalam mencegah pemalsuan dokumen dan tidak bisa dipalsukan akan memberikan manfaat yang tidak bisa diabaikan, terutama dengan migrasi ke dunia digital yang akan terus berlanjut usai pandemi.(*)