TEMPO.CO, Jakarta - Seluruh fraksi di DPR RI mendukung revisi Undang-Undang Narkotika (UU Narkotika). Sikap sembilan fraksi tersebut disampaikan dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Menteri Hukum dan HAM, Kamis, 31 Maret 2022.
Setelah disepakati seluruh fraksi, DPR memutuskan membentuk Panitia Kerja atau Panja untuk membahas Rancangan Undang-undang tentang perubahan kedua atas UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
"Agar pembahasan Revisi UU Narkotika lebih fokus dan komprehensif, apakah setuju dibentuk Panja?" ujar Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, 31 Maret 2022.
Seluruh anggota Komisi III DPR menyatakan setuju untuk dibentuk Panja RUU Narkotika. Pangeran Khairul Saleh ditunjuk sebagai Ketua Panja. Komisi III DPR lantas menyerahkan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) RUU Narkotika kepada pemerintah. DIM yang berjumlah 360 poin terdiri dari DIM yang bersifat tetap sebanyak 66, redaksional sebanyak 13, penjelasan sebanyak 10 poin, 178 substansi, dan 93 substansi baru.
Guru Besar Ilmu Kriminologi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) itu mengungkapkan, saat ini jumlah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika semakin meningkat. Dengan mempertimbangkan kualitas dan kuantitas aparat penegak hukum, serta kapasitas lembaga pemasyarakatan, pemerintah ingin mengutamakan penguatan pencegahan dalam menangani penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.
“Hal tersebut merupakan salah satu alasan untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,” ujar Yasonna.
Menurutnya, UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam pelaksanaannya belum memberikan konsepsi yang jelas tentang pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika. Perlakuan yang sama antara pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika dengan bandar atau pun pengedar narkotika dinilai menimbulkan ketidakadilan dalam penanganannya.
“Seharusnya, penanganan terhadap pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika difokuskan pada upaya rehabilitasi melalui mekanisme asesmen yang komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan,” tutur Yasonna.
Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan DPP PDI Perjuangan itu melanjutkan, asesmen bisa dilakukan tim asesmen terpadu yang terdiri dari unsur medis (dokter, psikolog, psikiater), dan unsur hukum (penyidik, penuntut umum, dan pembimbing kemasyarakatan). Tim asesmen terpadu selanjutnya akan mengeluarkan rekomendasi pecandu narkotika, penyalahguna narkotika, dan korban penyalahgunaan narkotika direhabilitasi atau tidak.
“Dengan menggunakan pendekatan rehabilitasi dibandingkan pidana merupakan bentuk restorative justice yaitu salah satu upaya pendekatan penyelesaian perkara pidana yang lebih menekankan pemulihan kembali keadaan korban ke keadaan semula dengan melibatkan berbagai pihak,” ujar Yasonna.
DEWI NURITA
Baca: Anggota DPR Dukung Revisi UU Narkotika untuk Kurangi Kapasitas Lapas