TEMPO.CO, Jakarta -Sistem pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia mengenal tiga sistem ambang batas atau threshold, yaitu electoral threshold, parliamentary threshold, dan presidential threshold (untuk pengajuan bakal calon presiden atau capres).
Secara singkat, threshold atau ambang batas dapat didefinisikan sebagai batas minimal suara yang mesti dimiliki oleh peserta pemilu untuk memperoleh hak tertentu dalam pemilu.
Hak-hak tertentu tersebut, antara lain hak untuk menjadi peserta pemilu berikutnya, hak untuk memperoleh kursi di parlemen, hingga hak untuk mengajukan pasangan capres dan calon wakil presiden (cawapres) pada pemilu berikutnya.
Dari tiga ambang batas tersebut, satu sistem ambang batas yang banyak menjadi polemik adalah presidential threshold. Lalu, apa sebenarnya presidential threshold?
Dalam buku berjudul Kamus Pemilu Populer: Kosa Kata Umum, Pengalaman Indonesia, dan Negara Lain karangan Gotfridus Goris Seran menyebutkan bahwa presidential threshold adalah suatu ambang batas suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu gelaran pemilu untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Di Indonesia, sistem presidential threshold pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umur Presiden dan Wakil Presiden yang saat ini sudah tidak berlaku lagi.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 disebutkan dalam Pasal 5 ayat (4) bahwa “Pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.”
Pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2004, 2009, dan 2014, mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2003 dengan menggunakan ambang batas hasil pemilihan legislatif yang telah dilaksanakan sebagai dasar pencalonal presiden dan wakil presiden.
Namun, sejak adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu aturan presidential threshold berubah karena pemilihan legislatif dan eksekutif dilakukan secara serentak sehingga ambang batas yang dipakai adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dalam UU Pemilu, aturan presidential threshold, untuk capres dan cawapres, diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan bahwa “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%(dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”
EIBEN HEIZIER
Baca : Urutan Buncit di Survei PRC-Parameter, Puan Maharani Dinilai Terlalu Kaku