TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai alasan potongan masa hukuman Edhy Prabowo oleh Mahkamah Agung sebagai sesuatu yang absurd. Hakim memotong masa hukuman bekas Menteri Kelautan dan Perikanan itu dari 9 tahun menjadi 5 tahun penjara pada Senin, 7 Marer 2022.
"ICW melihat hal meringankan yang dijadikan alasan Mahkamah Agung untuk mengurangi hukuman Edhy Prabowo benar-benar absurd. Sebab, jika ia sudah baik bekerja dan telah memberi harapan kepada masyarakat, tentu Edhy tidak diproses hukum oleh KPK," ujar Kurnia saat dihubungi Rabu, 9 Maret 2022.
Kurnia mengatakan Edhy adalah seorang pelaku tindak pidana korupsi. Ia memanfaatkan jabatannya sebagai menteri untuk meraup keuntungan secara melawan hukum. Maka dari itu, Edhy ditangkap dan divonis dengan sejumlah pemidanaan, mulai dari penjara, denda, uang pengganti, dan pencabutan hak politik.
"Lagi pun, majelis hakim seolah mengabaikan ketentuan Pasal 52 KUHP yang menegaskan pemberatan pidana bagi seorang pejabat tatkala melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya," katanya.
Menurut Kurnia, ketentuan itu secara spesifik menyebutkan penambahan hukuman sepertiga, bukan justru dikurangi.
Hukuman 5 tahun ini, disebut Kurnia, menjadi sangat janggal, sebab, hanya 6 bulan lebih berat jika dibandingkan dengan staf pribadi Edhy, yakni Amiril Mukminin. "Terlebih, dengan kejahatan korupsi yang ia lakukan, Edhy juga melanggar sumpah jabatannya sendiri," tutur Kurnia.
Dia mengatakan di antara ciri korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa adalah karena dampak viktimisasinya sangat luas dan merupakan perbuatan tercela serta dikutuk oleh masyarakat. "Tentu dengan dasar ini, masyarakat sangat mudah untuk melihat betapa absurdnya putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap Edhy," katanya.
Kurnia menilai pemotongan hukuman oleh Mahkamah Agung ini dikhawatirkan menjadi multivitamin sekaligus penyemangat bagi pejabat yang ingin melakukan praktik korupsi. "Sebab, mereka melihat secara langsung bagaimana putusan lembaga kekuasaan kehakiman jarang memberikan efek jera," ujar Kunia.
Sebelumnya hakim pada sidang kasasi menilai terdapat sejumlah hal yang menjadi pertimbangan majelis kasasi sehingga mengurangi vonis Edhy Prabowo.
"Bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang mengubah putusan Pengadilan Negeri kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa, sehingga perlu diperbaiki dengan alasan bahwa pada faktanya terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan," demikian disebutkan hakim.