TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai argumentasi para elite politik yang mengusulkan penundaan Pemilu 2024, sangat lemah dan tidak masuk akal. Dia pun sepakat dengan pendapat seniornya, Guru Besar UIN Jakarta Saiful Mujani, yang menyebut pendapat para elite tersebut seperti bocah yang belum beres pakai celana, tapi sudah ngoceh sana-sini.
"Saya setuju dengan pendapat Pak Saiful Mujani itu, para elite yang mengusulkan penundaan Pemilu itu sebaiknya pakai celana dulu yang bener, sebelum membawa isu itu ke publik. Perbaiki dulu argumennya," ujarnya dalam acara Kuliah Umum yang diselenggarakan UIN Sunan Gunung Djati, di Bandung, Rabu, 9 Maret 2022, dan diikuti Tempo secara daring.
Burhanuddin menilai alasan pemilu perlu ditunda karena kondisi pandemi tak masuk akal. Pada 2020, pemerintah menggelar 270 pemilihan kepala daerah serentak, padahal banyak pihak yang mengusulkan Pemilu ditunda di awal masa pandemi itu. Tetapi elite politik tidak mengikuti saran dari publik dan mengabaikan temuan survei. Pemilu tetap dilakukan.
"Namun saat kondisi pandemi mulai membaik saat ini, para elite malah mengusulkan penundaan Pemilu. Jadi alasannya tidak cukup (masuk akal)," kata dia.
Terlebih, lanjut Burhanuddin, jika melihat data The International Institute for Electoral Assistance and Democracy (IDEA) yang menunjukkan, dari 300 pemilu nasional atau lokal di seluruh dunia pada dua tahun terakhir, angka penundaan pemilu sangat kecil dan umumnya terjadi di awal pandemi.
"Di tahun kedua, umumnya berjalan sesuai jadwal. Apalagi 2024 nanti, mungkin nyaris nol persen yang menunda Pemilu," tuturnya.
Selanjutnya, alasan pemulihan ekonomi karena kondisi ekonomi juga tidak bisa diterima. Sebab, pertumbuhan ekonomi semakin membaik mencapai 3,7 persen sepanjang 2021.
"Jadi kalau alasan ekonomi dipakai, sama saja seperti mementahkan kinerja pemerintahan Jokowi sendiri, wong katanya sudah on the track kok," ujar Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu.
Terakhir, alasan pembangunan ibu kota negara (IKN) dinilai lebih tidak jelas lagi. Menurut dia, pembangunan IKN lebih tidak penting ketimbang keberlangsungan Pemilu 2024.
"Pembangunan IKN itu tidak disebut dalam konstitusi. Lantas, apakah IKN itu lebih penting ketimbang jadwal pemilu lima tahun sekali yang sudah disebutkan secara verbatim dalam konstitusi?," ujar Burhanuddin.
Setidaknya dari tiga alasan yang dibedah itu, Burhanuddin menilai tidak ada alasan yang cukup kuat untuk menunda Pemilu 2024.
Tiga ketua umum partai politik pendukung pemerintah yang secara terbuka menggulirkan isu penundaan Pemilu 2024, di antaranya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Dalihnya macam-macam, dari soal perbaikan ekonomi hingga klaim tingginya angka kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi.
Sementara partai yang tegas menolak di antaranya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. Burhanudin pun berharap partai yang menolak ide ini bisa konsisten pada sikapnya.
"Kita berharap partai-partai yang menolak ini konsisten agar tidak terjadi konsolidasi di tingkat elit. Kalau mereka berkonsolidasi, bahaya, bisa gol isu perpanjangan masa presiden ini karena kekuatan pendukung Jokowi di parlemen sudah 82 persen. Publik dan mahasiswa juga diharapkan terus bersuara menolak usul ini," ujar Burhanuddin.
Penolakan masyarakat juga tercermin dalam survei Indikator pada Desember 2021. Dalam survei akhir tahun itu menunjukkan 67,2 persen responden memilih pergantian kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2024 tetap dilaksanakan meski tengah pandemi. Sementara 24,5 persen memilih pemilu ditunda hingga 2027. Dan 8,3 persen sisanya tak menjawab.
Hasil sigi teranyar Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis awal Maret lalu juga menunjukkan mayoritas masyarakat menolak usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2027 dengan alasan apapun. Sekitar 68-71 persen warga menolak perpanjangan masa jabatan presiden, baik karena alasan pandemi, pemulihan ekonomi akibat pandemi, atau pembangunan Ibu Kota Negara baru. Mayoritas masyarakat disebut lebih memilih Pemilu 2024 digelar.
Baca: Sekum Muhammadiyah: Indonesia di Era Peralihan Demokrasi ke Typokrasi