TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menceritakan kronologi dugaan penembakan terhadap pengunjuk rasa yang menolak tambang di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Peristiwa itu menyebabkan satu orang tewas.
Hal itu bermula pada Sabtu, 12 Februari 2022, di mana ada sekitar 700 orang dari Kecamatan Kasimbar, Kecamatan Tinombo Selatan, dan Kecamatan Toribulu berunjuk rasa. “Mereka memblokade jalan Trans Sulawesi dalam rangka mengekspresikan penolakan mereka terhadap tambang emas yang beroperasi di daerah tersebut,” ujar dia dalam keterangannya, Ahad, 13 Februari.
Menurut informasi yang diterima Amnesty, pada sekitar pukul 20.30 waktu setempat, anggota Brimob diturunkan ke lokasi untuk membubarkan massa aksi. Kemudian, pada sekitar pukul 00.00, polisi menembakkan gas air mata dan terjadi aksi saling lempar antara massa dan polisi.
Lalu, pada pukul 01.30, seorang warga Kecamatan Tinombolo Selatan tertembak di dada dan akhirnya meninggal dunia. “Hingga saat ini, polisi masih menahan setidaknya 70 orang massa aksi,” katanya.
Menurut Usman, unjuk rasa dijamin dan dilindungi secara internasional. Dia menyebutkan konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) secara eksplisit menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hal itu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 dan hak untuk berkumpul secara damai, sebagaimana diatur dalam Pasal 21.
Instrumen itu, disebut Usman mengikat semua negara yang telah meratifikasinya, termasuk Indonesia. Merujuk pada Kovenan ini, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen hak asasi manusia internasional.
“Dalam konteks nasional, hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi juga telah dijamin dalam UUD Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia,” tutur dia.
Selain itu, penggunaan senjata api oleh aparat juga harus sesuai dengan Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum yang dikeluarkan oleh PBB (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials). Di dalamnya melarang penggunaan senjata api oleh aparat penegak hukum kecuali apabila mutlak diperlukan untuk melindungi diri atau untuk membela orang lain dari ancaman kematian.
Selain itu, dalam peraturan di tingkat kepolisian sekalipun, penggunaan senjata api secara berlebihan telah tidak sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3 Peraturan Kapolri No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Serta Pasal 9 dan Pasal 11 Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.