TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan penembakan terhadap pengunjuk rasa menolak tambang di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah merupakan tindakan brutal.
Usman mengatakan penembakan terhadap pengunjuk rasa damai yang menolak pertambangan di Kabupaten Parigi Moutong tidak bisa dibenarkan. Ia mendesak ada investigasi terhadap aparat yang terlibat penembakan.
Baca juga:
“Amnesty International Indonesia mendesak Komnas HAM untuk melakukan investigasi yang kredibel atas kasus ini,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Ahad, 13 Februari 2022.
Dalam sepekan terakhir, Usman melanjutkan, negara begitu represif dan eksesif dalam menangani masyarakat yang memprotes tambang. Amnesty International Indonesia mendesak agar negara berhenti mengerahkan kekuatan dan kekerasan berlebihan dalam menanggapi protes-protes warga.
Menurut dia, siklus kekerasan harus segera dihentikan, dan negara wajib melindungi mereka yang berbeda pendapat dengan negara. Dia mengatakan bahwa sudah saatnya negara mengedepankan dialog dalam melaksanakan pembangunan.
“Hal itu penting untuk melindungi hak masyarakat di sekitar area pertambangan untuk memberikan, atau tidak memberikan, persetujuan yang didasarkan informasi, di awal, dan tanpa paksaan atas rencana penambangan di wilayah mereka,” katanya.
Amnesty International Indonesia juga mendesak Presiden Joko Widodo agar memerintahkan Kapolri untuk mengusut kejadian ini. Termasuk menyeret pelakunya ke peradilan umum. “Sanksi disiplin seperti yang selama ini diterapkan, jauh dari standar hukum yang benar, apalagi rasa keadilan masyarakat," katanya.
Menurut informasi, pada Sabtu, 12 Februari, ada sekitar 700 orang dari Kecamatan Kasimbar, Kecamatan Tinombo Selatan, dan Kecamatan Toribulu melakukan unjuk rasa. Mereka memblokade jalan Trans Sulawesi dalam rangka mengekspresikan penolakan mereka terhadap tambang emas yang beroperasi di daerah tersebut.
Menurut informasi, pada sekitar pukul 20.30 waktu setempat, anggota Brimob diturunkan ke lokasi untuk membubarkan massa. Pada sekitar dini hari, polisi menembakkan gas air mata. Kemudian, terjadi saling lempar antara massa dan polisi. Pada pukul 01.30, seorang warga Kecamatan Tinombolo Selatan tertembak di dada dan akhirnya meninggal dunia.