TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menyampaikan tiga poin mengenai putusan Mahkamah Agung yang mencabut aturan pengetatan remisi koruptor. “Pertama, MA inkonsisten terhadap putusannya sendiri,” kata Kurnia dalam keterangannya, Sabtu, 30 Oktober 2021.
Kurnia menjelaskan ada tiga isu yang dijadikan pertimbangan MA membatalkan aturan tersebut. Ketiganya ialah karena dianggap tidak sejalan dengan model pemidanaan restorative justice, regulasi dipandang diskriminatif karena membedakan perlakuan kepada para terpidana, dan mengakibatkan situasi overcrowded di lembaga pemasyarakatan.
Baca Juga:
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Kurnia memandang bahwa Mahkamah Agung inkonsisten terhadap putusan sendiri. Sebab, sebelumnya melalui putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015, MA sudah secara tegas menyatakan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana.
Menurut Kurnia, perbedaan syarat pemberian remisi dalam konteks pembatasan hak diperbolehkan UUD 1945. Konsep tersebut tertera dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang (UU). “Bahkan, MA secara eksplisit dalam putusan tahun 2013 menyebutkan PP 99/2012 mencerminkan spirit extraordinary crime,” kata dia.
Kedua, Kurnia menilai pandangan hakim MA yang menilai pengetatan pemberian syarat remisi tidak sesuai dengan model restorative justice juga keliru. Kurnia mengatakan pemaknaan model restorative justice seharusnya adalah pemberian remisinya, bukan justru syarat pengetatan.
Secara konsep, kata dia, pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana dan telah dijamin oleh UU Pemasyarakatan. Sedangkan syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada dettern effect bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi. “Dengan kata lain, MA sedang berupaya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya,” ujarnya.
Ketiga, Kurnia mengatakan bahwa MA keliru dalam melihat persoalan overcrowded di lembaga pemasyarakatan. Pasalnya, masalah tersebut bukan pada persyaratan pemberian remisi, melainkan regulasi dalam bentuk UU, salah satunya soal narkotika.
Berdasarkan data dari sistem database pemasyarakatan per Maret tahun 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0,7 persen (1.906 orang). Angka tersebut berbanding jauh dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang. “Melihat data tersebut, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal,” kata Kurnia ihwal putusan uji materi tentang aturan pengetatan remisi koruptor.
Baca juga: KPK Ingin Pemberian Remisi Koruptor Ada Pertimbangan dari Aparat Hukum
FRISKI RIANA