Selang antara Agustus hingga November 1945, Wahid Hasyim mengungkapkan bahwa soal-soal agama yang di dalam praktiknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa departemen tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Oleh sebab itu, soal-soal keagamaan perlu dikhususkan dalam satu departemen untuk memisahkannya dari soal-soal lainnya tersebut. “Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang pertama, diadakan Kementerian Agama. Model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara,” tulis Wahid Hasyim.
Usulan pembentukan Kementerian Agama kembali digaungkan pada sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP yang diselenggarakan pada 25-27 November 1945.
Sidang yang dipimpin oleh Ketua KNIP Sutan Sjahrir ini membahas terkait laporan Badan Pekerja (BP) KNIP, pemilihan keanggotaan, Ketua, Wakil Ketua BP KNIP yang baru dan tentang jalannya pemerintahan.
Usulan pembentukan Kementerian Agama disampaikan oleh utusan Komite Nasional Indonesia Daerah Keresidenan Banyumas yaitu K.H. Abu Dardiri, K.H.M Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro, yang merupakan anggota KNI dari partai politik Masyumi.
Melalui juru bicara K.H.M. Saleh Suaidy, mengusulkan agar urusan agama jangan dicampur dengan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, tetapi dibentuk kementerian sendiri yakni Kementerian Agama.
Bagaimana proses urusan Agama akhirnya dipisahkan dari urusan pengajaran?