Berbekal titel sebagai lulusan terbaik ITB, Nurhayati cukup percaya diri melamar menjadi dosen. "Saya lulusan terbaik, saya pikir pasti mendapat pekerjaan terbaik, ternyata tidak. Bahkan saya melamar jadi dosen, enggak diterima, saya tidak tahu kenapa. Wallahu a'lam," ujar dia.
Gagal menjadi dosen, Nur mendapat pekerjaan di sebuah apotek di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. "Eh, ternyata kerja di apotek itu enggak dibayar. Saya akhirnya pulang kampung, kerja di Rumah Sakit Umum, jadi pegawai honorer yang gajinya Rp20.000, di bawah UMR saat itu," ujar dia.
Setelah menikah dengan Subakat Hadi, Nur hijrah ke Jakarta. Ia kemudian mendapat pekerjaan sebagai apoteker di sebuah industri kosmetik. Nurhayati belajar banyak selama lima tahun bekerja di perusahaan multinasional itu. "Eh tiba-tiba datang CEO yang membuat saya tidak nyaman. Saya akhirnya mundur," tuturnya.
Setelah berhenti dari perusahaan itu, Nurhayati memakai ilmu farmasi dan pengalamannya bekerja di perusahaan kosmetik untuk membangun industri kosmetik lokal. Berawal dari dua karyawan dan hanya pada skala industri rumahan.
Pada 1985 ia mendirikan PT Pusaka Tradisi Ibu. Produk pertamanya untuk perawatan rambut di salon dengan harga terjangkau berlabel Putri. Lima tahun berjalan, tempat usahanya kebakaran, hingga kondisi keuangan tergerus sampai minus. Nyaris bangkrut dan memilih tutup, Nurhayati memutuskan bangkit lagi karena memikirkan nasib karyawan dan utang ke mitra bisnis.
Dari kredit ke bank, ia membuat kosmetika halal pada 1995 berlabel Wardah hingga terkena imbas krisis moneter 1998. Namun, perusahaan Nurhayati tetap bertahan hingga terus membesar. Fenomena hijaber yang meledak pada 2009 menjadi momentum bagi pencetus kosmetik berlabel halal itu. Wardah melejit bahkan sampai bisa beriklan di televisi.